Alhamdulillah, segala
puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Salah satu
karakteristik Islam yang menonjol adalah bersifat universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia.
Menyentuh segenap dimensi kehidupan. Mengatur manusia dari semenjak bangun
tidur hingga tidur kembali. Merambah pada pensyari'atan dari semenjak manusia
dilahirkan hingga ia dikuburkan. Dan seorang muslim diperintahkan untuk
mengamalkan universalitas Islam secara total, tidak boleh dia mengambil
sebagian dan meninggalkan yang lainnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam secara keseluruhannya." (QS. Al Baqarah: 208)
"Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al
Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah ba
lasan bagi
orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan
dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat."
(QS. Al Baqarah: 85)
Salah satu contoh
dari universalitas ajaran Islam adalah bahwa Islam mengatur persoalan makan dan
minum. Banyak hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang memberikan tuntunan
dalam hal ini. Darinya, para ulama menyusun adab-adab makan dan minum dalam
kitab-kitab mereka. Sehingga semakin mudahlah kita untuk memahami dan
mengamalkan tuntunan Islam dalam masalah ini. Di antaranya, membaca basmalah
sebelum makan, makan dengan tangan kanan, makan dengan duduk, tidak bersandar
ketika makan, tidak mencela makanan, dan selainnya.
Ada satu adab makan
yang kurang diperhatikan. Bahkan, terkadang jika diamalkan banyak umat Islam
yang mencibirnya, padahal hadits cukup jelas menjelaskannya. Yaitu menjilati
tangan dan piring sebelum mengelap atau mencucinya agar tidak ada makanan yang
tersisa.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمُ الطَّعَامَ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا وَ لَا يَرْفَعَ صَحْفَةً حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا، فَإِنَّ آخِرَ الطَّعَامِ فِيْهِ بَرَكَةٌ
"Apabila salah seorang kamu makan makanan,
janganlah dia mengelap tangannya hingga menjilatinya atau meminta orang
menjilatinya. Dan janganlah dia mengangkat piringnya hingga menjilatinya atau
meminta orang untuk menjilatinya., karena pada makanan terakhir terdapat
barakah." (HR. Bukhari no.
5465; Muslim no. 2031,)
Syaikh Nashiruddin al
Albani mengatakan, "dalam hadits ini terdapat adab yang indah di antara
adab-adab makan yang wajib. Yaitu menjilati jari-jari dan mengelap piring
dengan jari-jari. Yang dimaksud wajib adalah karena Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam memerintahkannya dan melarang meninggalkannya. Maka jadilah seorang
mukmin yang selalu melaksanakan perintahnya shallallahu 'alaihi wasallam dan
meninggalkan larangannya. Janganlah dia menghiraukan para pencela yang selalu
menghalangi manusia dari jalan Allah, baik mereka menyadarinya atau
tidak."
Pada hari ini, banyak
kaum muslimin meninggalkan sunnah ini karena terpengaruh dengan tradisi dan
budaya orang-orang Eropa yang kafir. Yaitu tradisi dan budaya yang didasarkan pada
prinsip materialistik yang tidak mengenal penciptanya dan bersyukur kepada
nikmat-nikmat-Nya. Karenanya, seorang muslim harus berhati-hati membebek mereka
dalam tradisi dan budayanya, jangan sampai dia menjadi bagian mereka
berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "siapa menyerupai
suatu kaum maka dia bagian dari mereka." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan
dishahihkan Ibnu Hibban. Sedangkan Syaikh al Albani menghasankannya dalam al
Misykah)
Dalam realita,
terkadang kita dapati adanya kaum yang sudah rusak akalnya mencela orang yang
melaksanakan sunnah ini. Mereka menyangka bahwa menjilati jari-jari adalah
tercela. Seolah-olah mereka tidak tahu bahwa makanan yang tersisa di tangan
atau piringnya bagian dari yang mereka makan. Jika seluruh makanannya tidak
buruk, maka bagian darinya tentu juga tidak buruk. Tindakan ini tidaklah lebih
besar bila dibandingkan dengan dia menghisap jari-jarinya dengan kedua
bibirnya. Bagi orang berakal, tidak akan ragu bahwa hal sunnah ini tidak
apa-apa. Bahkan, terkadang seseorang ketika berkumur dia memasukkan tangannya
ke mulutnya dan menggosok-gosok giginya dan bagian dalam mulutnya. Dan nyatanya
tidak ada orang yang berkata itu menjijikkan atau tidak layak dilakukan.
. . Maka jadilah seorang mukmin yang selalu melaksanakan
perintahnya shallallahu 'alaihi wasallam dan meninggalkan larangannya.
Janganlah dia
menghiraukan para pencela yang selalu menghalangi manusia dari jalan Allah,
baik mereka menyadarinya atau tidak. .
(Syaikh al Albani)
Cara
menjilat tangan
Diriwayat al Thabrani
dalam al Ausath, dari hadits Ka'b bin 'Ujrah, "aku melihat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam makan dengan tiga jari; yaitu ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah. Kemudian aku melihat beliau menjilati ketiga jarinya tersebut
sebelum mengusapnya. Jari tengah dulu, lalu jari telunjuk, kemudian ibu jari.
Hikmahnya, karena jari tengah lebih kotor karena lebih panjang sehingga sisa
makanan lyang menempel lebih banyak dibandingkan jari yang lain. Karena
panjang, sehingga lebih dulu jatuh ke makanan. Boleh jadi, yang dijilat dulu
adalah bagian dalam telapak lalu ke bagian luarnya. Dimulai dari jari tengah,
lalu berpindah ke jari telunjuk dan berakhir ke ibu jari.
Menjilati jari-jari
bisa dilakukan sendiri atau meminta orang dekatnya, seperti istri, anak, atau
orang tua untuk menjilatinya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
di atas, " Dan janganlah dia mengangkat piringnya hingga menjilatinya atau
meminta orang untuk menjilatinya., karena pada makanan terakhir terdapat
barakah."
Syaikh Ibnul Utsaimin
rahimahullah berkata tentang hal ini, " mengenai menjilati jari sendiri
maka ini adalah satu perkara yang jelas. Sedangkan meminta orang lain untuk
menjilati jari kita adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi. Jika rasa cinta
suami istri itu sangatlah kuat, maka sangatlah mungkin seorang istri menjilati
tangan suaminya, atau seorang suami menjilati tangan istrinya. Jadi hal ini
adalah suatu hal yang mungkin terjadi."
Menjilati jari-jari
bisa dilakukan sendiri atau meminta orang dekatnya, seperti istri, anak, atau
orang tua untuk menjilatinya.
Hikmah
menjilat tangah dan piring
Perintah untuk
menjilati sisa makanan yang menempel pada tangan dan piring sebelum
dibersihkan, baik dengan dilap atau dicuci, memiliki beberapa alasan. Dalam
beberapa hadits disebutkan dengan jelas, yaitu untuk meraih berkah
makanan. Namun bukan berarti
hadits-hadits itu membatasi hikmah lainnya.
Sesungguhnya makanan
yang kita santap mengandung barakah. Namun kita tidak mengetahui letak
keberkahan tersebut. Apakah dalam makanan yang sudah kita santap, ataukah yang
tersisa dan melekat di jari, ataukah yang tersisa di piring, ataukah berada
dalam suapan yang jatuh ke lantai. Karenanya kita harus menjaga hal ini agar
mendapat barakah.
Ibnu Daqiq al-'Ied
rahimahullah, berkata, "alasan tentang hal ini sangat jelas dalam beberapa
riwayat. Yaitu, "karena dia tidak tahu pada makanan mana terdapat
barakah."
Dalam riwayat Muslim,
di ujung hadits Jabir diterangkan:
إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَة أَحَدكُمْ فَلْيُمِطْ مَا أَصَابَهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا ، وَلَا يَمْسَح يَده حَتَّى يَلْعَقهَا أَوْ يُلْعِقهَا ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيّ طَعَامه الْبَرَكَة
"Jika makanan salah seorang kalian jatuh,
hendaklah diambil dan disingkirkan kotoran yang melekat padanya, lalu
memakannya. Dan janganlah dia mengusap tangannya (membersihkannya) sehingga
menjilatinya."
Dalam riwayat al
Thabrani dari hadits Abu Sa'id disebutkan, "karena dia tidak tahu pada
makanannya yang mana dia diberkahi." (Musli juga meriwayatkan yang serupa dari Anas dan
Abu Hurairah).
Syaik Ibnu Utsaimin
mengatakan, “selayaknya piring atau wadah yang dipakai untuk meletakkan makanan
dijilati. Artinya jika kita sudah selesai makan, maka hendaknya kita jilati
bagian pinggir dari piring tersebut sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kita tidak mengetahui letak keberkahan
makanan." (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 245)
Sesungguhnya makanan
yang kita santap mengandung barakah. Namun kita tidak mengetahui letak
keberkahan tersebut. Apakah dalam makanan yang sudah kita santap, ataukah yang
tersisa dan melekat di jari, . .
Hikmah lainnya, agar
tidak tumbuh sifat sombong dalam diri dengan meremehkan makanan yang sedikit
dan menurut kebiasaan dianggap sesuatu yang remeh. Al Qadli 'Iyadh berkata,
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan hal
itu agar tidak meremehkan makanan yang sedikit." (Dalam al Fath)
Syaikh Ibnul Utsaimin
dalam Syarh Riyadhus Shalihin mengungkapkan hikmah lainnya dari sisi medis,
"Ada orang yang menyampaikan informasi kepadaku yang bersumberkan dari
keterangan salah seorang dokter, bahwa ruas-ruas jari tangan ketika digunakan
untuk makan itu mengeluarkan sejenis cairan yang membantu proses pencernaan makan
dalam lambung. Seandainya informasi ini benar maka ini adalah di antara manfaat
mengamalkan sunnah di atas. Jika manfaat secara medis tersebut memang ada, maka
patut disyukuri. Akan tetapi jika tidak terjadi, maka hal tersebut tidaklah
menyusahkan kita karena yang penting bagi kita adalah melaksanakan perintah
Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin Juz VII hal 243-245)
. . . agar tidak tumbuh sifat sombong dalam diri dengan
meremehkan makanan yang sedikit dan menurut kebiasaan dianggap sesuatu yang
remeh.
Makna
Barakah
Adanya barakah
menjadi alasan yang disebutkan dalam perintah menjilati tangan dan piring
seusai makan. Lalu apa makna barakah?
Pada dasarnya barakah
bermakna kebaikan yang melimpah, berkembang, dan bertambah serta lestari
kebaikan tersebut. Sedangkan maksud makanan yang berbarakah adalah makanan yang
bisa mengenyangkan, tidak menimbulkan gangguan pada tubuh, dan menjadi sumber
energi untuk berbuat ketaatan, (sebagaimana yang disebutkan oleh Imam al
Nawawi)
Mencuci
tangan sesudah makan
Pada hadits di awal
tidak disebutkan cara khusus membersihkan tangan sesudah makan dengan mencuci.
Yang disebutkan cukup mengusap (mengelap)nya. Sedangkan menjilatinya atau
meminta orang lain untuk menjilatinya sangat-sangat diperintahkan. Bahkan Ibnu
Hazm rahimahullah berpendapat hal itu wajib.
Namun, dalam beberapa
riwayat yang lain terdapat anjuran dan contoh dari Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam dan para shahabat tentang mencuci tangan sesudah makan. Namun,
pelaksanaannya sesudah sesudah menjilati tangan dan piring yang digunakan
makan.
Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Barang siapa yang tidur dalam keadaan tangannya masih bau daging
kambing dan belum dicuci, lalu terjadi sesuatu, maka janganlah dia menyalahkan
kecuali dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, no. 7515, Abu Dawud, 3852 dan lain-lain,
hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Dalam riwayat lain,
Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah
makan belikat kambing. Sesudah selesai makan beliau berkumur-kumur, mencuci dua
tangannya baru melaksanakan shalat. (HR. Ahmad, 27486 dan Ibn Majah 493, hadits
ini dishahihkan oleh al-Albani)
Abban bin Utsman
bercerita, bahwa Utsman bin Affan pernah makan roti yang bercampur dengan
daging, setelah selesai makan beliau berkumur-kumur dan mencuci kedua tangan
beliau. Lalu dua tangan tersebut beliau usapkan ke wajahnya. Setelah itu beliau
melaksanakan shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. Malik, no. 53) Wallahu A'lam
bi al Shawaab. . . .
Artikel www.PurWD/voa-islam.com, dipublish ulang dan disesuaikan oleh http://www..afutuhnews.blogspot.com
Artikel : http://www.alfutuhnews.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar