Jumat, 27 April 2012

Bagaimana ya, Tata Cara Bersuci Setelah Mimpi Basah


Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.


Mimpi basah merupakan fenomena umum yang dialami para remaja dan pemuda, walau tidak menutup kemungkinan, juga orang tua. Khusunya bagi laki-laki, mimpi basah menjadi pertanda dia sudah baligh sehingga mulai terkena beban-beban syariat. Wanita juga mengalaminya, namun bukan sebagai pertanda sudah akil baligh. Akil balighnya ditandai dengan keluarnya darah haid.

Dalil yang menunjukkan bahwa wanita juga mengalami mimpi basah adalah hadits Ummu Salamah radliyallaahu 'anha, ia mengatakan, “Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, datang  kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasullullah, sesungguhnya Allah tidak malu menjelaskan kebenaran. Apakah kaum wanita juga harus mandi jika mimpi basah?” Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengatakan, “Ya, jika ia melihat air.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Dari Anas radliyallaahu 'anhu pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah berkata tentang seorang wanita yang bermimpi basah sebagaimana laki-laki, “Dia harus mandi.” (Muttafaq ‘alaih) Imam Muslim menambahkan, “Ummu Salamah  berkata, “Apakah dia juga mengalaminya?” Beliau menjawab, “Ya, dari mana adanya kemiripan?"

Bagaimana cara bersucinya?

Bagi laki-laki atau perempuan yang bermimpi dengan lawan jenisnya dan disertai keluarnya air mani, maka ia wajib mandi. Bagaimana tata cara mandi yang dituntunkan sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam?

Menurut penjelasana Syaikh Utsaimin rahimahullaah dalam salah satu fatwanya, bahwa mandi janabat memiliki dua bentuk; bentuk yang mencukupi dan lengkap/sempurna.

Penjelasana Syaikh Utsaimin rahimahullaah dalam salah satu fatwanya, bahwa mandi janabat memiliki dua bentuk; bentuk yang mencukupi dan lengkap/sempurna.

Bentuk pertama hanya dengan berkumur-kumur, beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya) dan membasahi seluruh tubuhnya walau hanya sekali, walaupun dengan menceburkan diri (menyelam) di air yang dalam.

Adapun bentuk yang sempurna adalah dengan mencuci kemaluan dan tubuh yang terkena air dari mimpi, lalu berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat, lalu menuangkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali sehingga membasahi pangkal rambutnya, lalu membasuh bagian kanan dari tubuhnya dan dilanjutkan bagian kiri.

Bentuk mandi yang sempurna ini didasarkan pada beberapa hadits sebagai berikut:

1. Dari Aisyah –istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam- menuturkan, “Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila mandi junub , beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya (telapak tangan). Kemudian berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat. Kemudian beliau masukkan jari-jarinya ke dalam air dan menyela-nyela pangkal rambutnya dengan air tersebut. Setelah itu beliau menyiramkan air ke atas kepalanya sebanyak tiga cidukan dengan kedua telapak tangannya lalu meratakan air ke seluruh kulit beliau.” (HR. Bukhari)

2. Hadits Maimunah radliyallaahu 'anha, ia berkata, “Aku pernah menyiapkan air untuk mandi janabat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Lalu beliau mencuci dua telapak tangannya dua atau tiga kali. Kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air guna dituangkan pada tangan kirinya), lalu mencuci kemaluan beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah (sebagian riwayat di dinding). Kemudian beliau berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat. Lalu beliau menyiramkan air ke atas kepalanya dengan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau meratakannya ke seluruh tubuh. Kemudian beliau bergeser dari tempat semula dan membasuh kedua kakinya. Kemudian aku membawakan handuk untuk beliau, namun beliau menolaknya.(HR. Muslim)

Dari kedua hadits di atas dapat dirinci urutannya sebagai berikut:

1. Mencuci kedua tangan tiga kali, yaitu sebelum memasukkan tangan ke dalam bejana atau sebelum mandi.

2. Mencuci kemaluan dan tempat yang terkena mani dengan kanan kiri.

3. Mencuci tangan lagi –setelah mencuci kemaluan- dan membersihkannya dengan sabun atau selainnya, seperti tanah.

4. Berwudlu dengan sempurna sebagaimana wudlu untuk shalat (hanya saja tentang mencuci kakinya terdapat dua pendapat, dilaksanakan bersama wudlu dan setelah mandi selesai dengan berpindah tempat dari posisi awal, dan masalah ini luas)

5. Menuangkan air tiga kali ke atas kepala sehingga air membasahi pangkal rambut (kulit kepala).

6. Memulai menyiram seluruh tubuh dengan mendahulukan bagian kanan kemudian bagian kiri.

Sifat mandi junub bagi wanita

Tatacara mandi junub bagi wanita tidak berbeda dengan laki-laki. Hanya saja, jika wanita memiliki rambut yang dikepang ia tidak harus mengurai rambutnya. Namun ia cukup meratakan air ke pangkal rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits Maimunah radliyallaahu 'anha, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang mengepang rambutku, apakah aku harus melepaskannya untuk mendi junub?” beliau shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab,

لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ

Tidak, cukup bagimu menyiramkan air pada kepalamu sebanyak tiga kali cidukan, kemudian engkau guyurkan air ke seluruh tubuhmu. Dengan demikian engkau telah suci.” (HR. Muslim)

Adapun ketika mandi sehabis haid, lebih dianjurkan bagi wanita untuk melepas ikatan rambutnya. Karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah memerintahkan kepada Aisyah ketika mendapat haid saat menunaikan ibadah haji,

دَعِي عُمْرَتَكِ وَانْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي

Tinggalkanlah (rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat  mandi) dan sisirlah rambutmu.” (HR. Bukhari)

Syaikh Ibin Bazz rahimahullaah menjelaskan dalam Ta’liqnya atas Muntaqa Al-Akhbar karya Ibnu Taimiyah, “Lebih dianjurkan bagi wanita haid untuk melepaskan ikatan rambutnya saat mandi sehabis haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepaskannya saat mandi junub.” (Baca juga Fathul Baari: i/418 dan al-Haidz wa an Nifas hal. 175) Wallahu T a’ala A’lam. . .

0 komentar:

Posting Komentar