Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Keprihatinan yang
dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini
yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka
berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang
bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau
mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan
musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi
kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek
kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau
dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari,
kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah
menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad
Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad
dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau
dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an
al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan
demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama
dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni
budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus
segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler
yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu
sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah
sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi
fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk
sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun
demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut,
bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan
menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada
hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain
musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau
lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan
menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih
Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak
hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga
menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam
perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan
bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata
dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau
lingkungan kita.
2.
Definisi Seni
Karena bernyanyi dan
bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu
definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’)
yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan
bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia,
yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat
ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis),
atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik
(instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan
irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara
lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam
aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni
instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni
instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang
diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni
yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara
saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan
dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan
alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya
(Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah
sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik
pembahasan.
3.
Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan
hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan
variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi.
Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua,
yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih
beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4
(empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi,
yaitu:
Pertama,
hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua,
hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga,
hukum memainkan alat musik.
Keempat,
hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan
ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan
umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan
kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis
sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati
oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi
para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42;
Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum
Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh
jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian
fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi
yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1.
Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda
pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian
mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing
mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing,
seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty
mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi
al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga
oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal.
27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas
(hal. 97-101):
A.
Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a.
Berdasarkan firman Allah:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh
adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân
: 6)
Beberapa ulama
menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di
antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang
dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs.
al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu?
(al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b.
Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan
zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no.
5590].
c.
Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya,
mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas.
[HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d.
Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.”
[HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi,
hadits mauquf].
e.
Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang
menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi
sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid
Dunya.].
f.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1.
Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan
(mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga
menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan
(rannatus syaithan).”
B.
Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a.
Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang yang melampaui batas.” (Qs.
al-Mâ’idah : 87).
b.
Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama
Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia
menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi,
masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia
lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR.
Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c.
Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi
pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku,
lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka
menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba
salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang
mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”
[HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d.
Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar.
Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada
permainan.” [HR. Bukhari].
e.
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia
sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju.
Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia
daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR.
Muslim, juz II, hal. 485].
C.
Kesimpulan
Dengan menelaah
dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya
kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu
melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk
menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam
asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan
dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah
satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini
dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum,
atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir).
Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun
mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila
Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada
dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat
adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah
satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan
diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada
melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul
fiqih:
Al-‘amal bi
ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua
dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada
meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi
Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip yang demikian
itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan
untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil
al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan
untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah
al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas dasar itu, kedua
dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa
dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang
membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu
bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan
syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang
mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang
menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau
kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal.
63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat
memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian
haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian
yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul),
perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina,
penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang
bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan
bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya.
Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian
yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya
nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani
Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan
keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam
Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf
an-Nas, hal. 103).
3.2.
Hukum Mendengarkan Nyanyian
a.
Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak
dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan
antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’
al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang
hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm
asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah,
yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah
manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur,
menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui,
mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl
jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang
mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl
al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah
mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu,
melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah).
Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil,
mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk
membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya
saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat
aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula
mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum
asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik
air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya
nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar
berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban
amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar
seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram.
Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah,
tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar
terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum
mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun
juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum
asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran,
kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran
itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan
lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak
meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
b.
Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya
adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu
mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa
Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’).
Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada
interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan
istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada
tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang
penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan
nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf
an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah
perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’)
bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang
mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang
melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran,
maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang
mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah
nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat)
karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu
adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal.
104). Allah SWT berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada
pembicaraan yang lainnya.” (Qs.
an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka
janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi
peringatan.” (Qs.
al-An’âm [6]: 68).
3.3.
Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum
memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya
adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas
diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau
rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).”
[HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu?
(Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum
Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat
musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan
dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat
Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani
hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan
sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang
shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi
dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu
Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani
dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan
Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin
al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu
Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah
Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam
kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
“Jika belum ada
perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita
perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat
musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya,
memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika
ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik
tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada
hukum asalnya, yaitu mubah.
3.4.
Hukum Mendengarkan Musik
a.
Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya
mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung,
seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya,
hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah
tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam
pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi
ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat
unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b.
Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum
mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan
hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung
pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk
musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya
didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV,
kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal
pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi
al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda,
adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr.
Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun demikian,
meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat
akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya
kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila
al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram
juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4.
Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah menerangkan
berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang
nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional.
Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami
wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan
di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan,
hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1.
Musisi/Penyanyi.
2.
Instrumen (alat musik).
3.
Sya’ir dalam bait lagu.
4.
Waktu dan Tempat.
Berikut
sekilas uraiannya:
1).
Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan
menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus
kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi
sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi,
menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa
sekuler.
b)
Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir
dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam
penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib,
berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c)
Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita
tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul,
dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita,
atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua
haram.
2).
Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan
instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang
mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a)
Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya
seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b)
Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang
biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini,
instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan
perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
3).
Sya’ir
Berisi:
a)
Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian,
kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas
kemaksiatan, dan sebagainya)
b)
Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c)
Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d)
Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e)
Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah
dan syariah Islam.
Tidak
berisi:
a)
Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya)
dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b)
Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c)
Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia
sebagai hamba Allah.
d)
Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu
malu, dan sebagainya).
e)
Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan
syariah Islam.
4).
Waktu Dan Tempat
a)
Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin)
seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan
sebagainya.
b)
Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang
wajib).
c)
Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu
maupun tempat).
d)
Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak
boleh ikhtilat (campur baur).
5.
Penutup
Demikianlah kiranya
apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam
pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan
sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna
penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa
permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian
pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan
musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini
mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya
melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk
membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu
masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah.
Amin.
Wallahu a’lam bi
ash-showab.
0 komentar:
Posting Komentar