ALFUTUH - Benar, kita
tidak boleh bersikap malu dalam
memahami ilmu agama, untuk
menanyakan sesuatu hal.
Aisyah r.a. telah memuji
wanita Anshar, bahwa
mereka tidak dihalangi sifat malu
untuk menanyakan ilmu
agama. Walaupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat, dan
lain-lainnya, di hadapan umum
ketika di masjid,
yang biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama mengajarkan masalah-masalah wudhu,
najasah (macam-macam najis),
mandi janabat, dan sebagainya.
Hal serupa
juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an dan hadis yang ada hubungannya
dengan masalah tersebut, yang bagi
para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara menerangkan
secara jelas mengenai
hukum-hukum Allah dan
Sunnah Nabi
saw. dengan cara
yang tidak mengurangi kehormatan agama,
kehebatan masjid dan
kewibawaan para ulama.
Hal itu
sesuai dengan apa
yang dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan
pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini,
agar diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi atau
dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
Sebenarnya, masalah
hubungan antara suami-istri
itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya memperhatikan
dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kesalahan dan
kerusakan terhadap kelangsungan
hubungan suami-istri. Kesalahan yang
bertumpuk dapat mengakibatkan
kehancuran
bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam
dengan nyata tidak mengabaikan
segi-segi dari kehidupan manusia
dan kehidupan berkeluarga,
yang telah diterangkan tentang
perintah dan larangannya. Semua
telah tercantum dalam ajaran-ajaran
Islam, misalnya mengenai
akhlak, tabiat,
suluk, dan sebagainya. Tidak ada
satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
1. Islam
telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual,
serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh
karena itu, Islam melarang bagi orang
yang hendak menghilangkan dan
memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk
selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi saw, yaitu menikah.
Nabi saw.
telah menyatakan sebagai berikut: "Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan
aku lebih khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam, tidur,
berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak senang
(mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku."
2. Islam
telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai
hubungannya dengan cara menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan mengerjakannya
dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan Nabi saw.: "Di
kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat bertanya,
"Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan
mendapat pahala?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada
tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada
tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang
buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik."
Berdasarkan
tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif,
tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri.
Sebaliknya wanita itu
bersikap pemalu dan dapat menahan diri.
Karenanya diharuskan
bagi wanita menerima
dan menaati panggilan suami. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis: "Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena
perlu, maka supaya segera
datang, walaupun dia
sedang masak." (H.r. Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).
Dianjurkan
oleh Nabi saw. supaya si
istri jangan sampai menolak kehendak
suaminya tanpa alasan,
yang dapat menimbulkan kemarahan
atau menyebabkannya menyimpang
ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
Nabi saw.
telah bersabda: "Jika
suami mengajak tidur
si istri lalu
dia menolak,
kemudian suaminya
marah kepadanya, maka
malaikat akan melaknat dia
sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).
Keadaan yang
demikian itu jika
dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit,
letih, berhalangan, atau hal-hal yang
layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar
bahwa Allah swt. Adalah Tuhan bagi
hamba-hambaNya Yang Maha
Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan
menerima uzur hambaNya.
Dan hendaknya hambaNya juga menerima
uzur tersebut.
Selanjutnya, Islam
telah melarang bagi seorang istri
yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat
pahala puasa.
Nabi saw.
bersabda: "Dilarang bagi si istri (puasa
sunnah) sedangkan suaminya
ada,
kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq
Alaih).
Disamping dipeliharanya
hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak
wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala
hal. Nabi saw. menyatakan
kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.
Beliau
bersabda: "Sesungguhnya bagi
jasadmu ada hak
dan bagi keluargamu
(istrimu)
ada hak."
Abu Hamid
Al-Ghazali, ahli fiqih dan
tasawuf? dalam kitab Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:
"Disunnahkan
memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahiim dan berdoa, sebagaimana
Nabi saw. mengatakan:
"Ya
Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau
berikan kepadaku'."
Rasulullah saw.
melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak maka tidak akan diganggu
oleh setan."
Al-Ghazali
berkata, "Dalam suasana ini
(akan bersetubuh) hendaknya
didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan menutup diri
mereka dengan selimut, jangan telanjang
menyerupai binatang. Sang
suami harus
memelihara
suasana dan menyesuaikan diri,
sehingga kedua pasangan sama-sama
dapat menikmati dan merasa puas."
Berkata Al-Imam
Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'aad Fie
Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai
sunnah Nabi saw. dan
keterangannya dalam cara
bersetubuh. Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:
Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
1.
Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan
menurut takdir Allah.
2.
Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.
3. Mencapai
maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.
Ditambah lagi
mengenai manfaatnya, yaitu:
Menundukkan pandangan,
menahan nafsu, menguatkan
jiwa dan agar tidak berbuat
serong bagi kedua
pasangan. Nabi saw.
Telah menyatakan: "Yang
aku cintai di
antara duniamu adalah
wanita dan wewangian."
Selanjutnya
Nabi saw. bersabda: "Wahai para
pemuda! Barangsiapa yang
mampu melaksanakan pernikahan, maka
hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan
dan memelihara kemaluan."
Kemudian Ibnul
Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya
diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah saw.
melakukannya."
Ini semua
menunjukkan bahwa para ulama dalam
usaha mencari jalan baik
tidak bersifat konservatif,
bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau
pendapat masa kini.
Yang dapat
disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah
mengenal hubungan seksual
diantara kedua pasangan, suami
istri, yang telah
diterangkan dalam Al-Qur'anul Karim
pada Surat Al-Baqarah,
yang ada hubungannya dengan
peraturan keluarga.
Firman
Allah swt.: "Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari
puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian
bagimu, dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu,
karena itu, Allah mengampuni
kamu dan memberi
maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka
dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah kamu,
hingga jelas bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa
itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan
kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).
Tidak ada
kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah
disebutkan, yaitu:
"Mereka
itu adalah pakaian bagimu,
dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
Pada ayat
lain juga diterangkan, yaitu: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid,
katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran.
Oleh sebab itu,
hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci
maka campurilah mereka
itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukaiorang-orang yang bertobat
dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.
Istri-istrimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok tanammu itu
dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki.
Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu,
dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya.
Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang
yang beriman." (Q.s. Al-Baqarah: 222-223).
Maka, semua
hadis yang menafsirkan bahwa
dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan
saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat
di atas disebutkan: "Maka, datangilah tanah tempat bercocok
tanammu dengan cara bagaimanapun kamu
kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).
Tidak ada suatu perhatian yang melebihi dari pada
disebutnya masalah dan undang-undang
atau peraturannya dalam Al-Qur'anul Karim
secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas.
(Red : Fajar)
Sumber : voe-islam