Pondok Pesantren Al - Futuh Pandes II, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta

Mencetak kader pemimpin umat, membangun peradaban dunia, mendidik santri untuk memiliki karakter muslim yang kuat dan Cerdas.

Santri Al - Futuh Pandes II, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta

Mencetak Generasi Baru yang berlandaskan Islam, Cerdas, Kritis dan Kreatif.

Visi

Mencetak kader pemimpin umat, Membangun peradaban dunia, mendidik santri untuk memiliki karakter muslim yang kuat dan cerdas.

PonPes Al-futuh, Pandes II, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta

Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta terhukum. Kalau harta itu akan berkurang apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan bertambah apabila dibelanjakan.(Sayidina Ali bin Abi Thalib).

TK MASYITOH Al - Futuh Pandes II, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta

Mencetak Generasi Baru yang berlandaskan Islam, Cerdas, Kritis dan Kreatif. Serta disiapkan Untuk Melanjutkan kejenjang sekolah Dasar.

Minggu, 03 Juni 2012

Emang Benar Pohon di Kuburan Meringankan Siksa?


Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari Kiamat.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu beliau bersabda:

إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ،أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ

Sungguh kedua penghuni kubur itu sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah (mengadu domba).”

Kemudian beliau mengambil pelepah kurma basah. Beliau membelahnya menjadi dua, lalu beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya, “Wahai, Rasulullah, mengapa Anda melakukan ini?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Semoga keduanya diringankan siksaannya, selama kedua pelepah ini belum kering.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 216 dan Muslim, no. 292)

Dalam redaksi lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ، وَإِنَّهُ لَكَبِيرٌ

Mereka berdua tidak disiksa karena perkara besar (dalam pandangan keduanya), namun sesungguhnya itu adalah perkara besar.(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6055).

Berkaitan dengan lafadz ini, An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah menyebutkan dua tafsiran dalam hadits ini. Makna pertama. Itu bukanlah perkara besar dalam pandangan mereka berdua. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala :

وَتَحْسَبُوْنَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ (15(

Dan kamu menganggapnya suatu perkara yang ringan saja, padahal hal itu pada sisi Allah adalah perkara yang besar.” (QS. An-Nuur: 15)

Makna kedua. Meninggalkan kedua perkara ini bukanlah sesuatu yang besar (susah). Dengan kata lain, kedua perkara ini adalah perkara yang mudah dan ringan untuk ditinggalkan. (Syarah Shohiih Muslim, 3/201).

Tidak Menjaga Diri Dari Kencing Adalah Dosa Besar

Salah satu penghuni kubur itu disiksa karena semasa hidupnya tidak menjaga diri dari kencing, yakni tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri, tidak istinja’ atau bersuci setelah kencing sehingga tubuhnya terkena najis. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud tidak menjaga diri dari kencing adalah tidak menutupi diri ketika kencing. Semua pendapat ini saling melengkapi dan tidak saling bertentangan.

Dari hadits di atas, dapat kita simpulkan bahwa tidak menjaga diri dari kencing merupakan dosa besar, karena pelakunya diancam dengan siksa di Akherat.

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan bahwa pendapat yang paling kuat tentang pengertian dosa besar adalah segala perbuatan yang pelakunya diancam dengan api Neraka, laknat atau murka Allah di Akherat atau perbuatan yang mendapatkan hukuman had di dunia. Sebagian ulama menambahkan bahwa termasuk dosa besar adalah suatu perbuatan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan iman bagi pelakunya, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam: “Tidak beriman salah seorang dari kalian yang…” atau Nabi bersabda: “Bukan golongan kami orang yang…” atau Nabi berlepas diri dari pelakunya.” (Disarikan dari Ajwibah Mufidah an Masa-il Adidah, karya Syaikh Abdul Aziz ar Rajihi, hal. 1-4)


Haramnya Namimah (Adu Domba)

Namimah (adu domba) yaitu mengutip ucapan seseorang dan menceritakan perkataan tersebut kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan

النَّمِيْمَةُ نَقْلُ كَلاَمِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ إِلَى بَعْضٍ عَلَى جِهَةِ الإِفْسَادِ بَيْنهُمْ

 “(Yang dimaksud dengan) namimah yaitu menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara mereka.” (Syarh Nawawi untuk Shohiih Muslim, 1/214, Syamilah).

Namimah hukumnya haram, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَلاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِيْنٍ (10) هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيْمٍ (11) مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيْمٍ (12)

 Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” (QS. Al-Qalam: 10-12).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

Tidak akan masuk Surga orang yang suka mengadu domba.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 105)

Syafa’at dan Do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Para ulama menjelaskan bahwa sebab diringankannya adzab bagi kedua penghuni kubur itu adalah syafa’at dan do’a dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun pelepah basah yang ditancapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kedua kuburan itu hanyalah sebagai penanda batas waktu diterimanya syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kedua penghuni kubur itu agar adzab keduanya diringankan. Inilah pemahaman yang benar.
Imam Muslim rahimahullah menyebutkan di akhir kitab Shohiih-nya, sebuah hadits yang panjang dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu tentang dua penghuni kubur yang disiksa, bahwasanya shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي مَرَرْتُ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ، فَأَحْبَبْتُ بِشَفَاعَتِيْ أَنْ يُرَفَّهَ عَنْهُمَا مَا دَامَ الْغُصْنَانِ رَطْبَيْنِ

Sesungguhnya aku melewati dua kuburan yang sedang disiksa. Maka dengan syafa’atku, aku ingin agar adzabnya diringankan dari keduanya selama kedua pelepah itu masih basah.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 3012).

Jadi, penyebab diringankannya adzab bukanlah adanya pelebah basah, akan tetapi karena syafa’at dan do’a dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini merupakan kekhususan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Pendapat yang mengatakan bahwa hal itu merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pendapat yang benar. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menanamkan pelepah, kecuali di atas kuburan yang beliau ketahui penghuninya sedang disiksa. Dan beliau tidak melakukan hal itu kepada semua kuburan. Seandainya perbuatan itu Sunnah, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melakukannya kepada semua kuburan. Hal itu merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikarenakan para Khulafa’ur Rasyidin dan tokoh besar sahabat tidak pernah melakukan hal itu. Kalau, seandainya itu diperintahkan, tentu mereka akan segera melakukannya.

Pemahaman Keliru Tentang Hadits Ini

Kaum muslimin rahimakumullah, ada sebagian muslim yang keliru dalam memahami hadits ini. Sebagian mereka mengatakan bahwa dianjurkan menanam pohon kurma atau pepohonan yang lain di atas kuburan. Mereka mengatakan bahwa penyebab diringankan adzab kedua penghuni kubur itu ialah karena kedua pelepah yang masih basah itu senantiasa bertasbih kepada Allah Ta’ala. Adapun pelepah yang sudah kering, maka tidak lagi bertasbih. Oleh karena itulah, mereka menanam pohon di atas kuburan  agar adzab penghuni kubur terus diringankan.

Pendapat seperti ini bertentangan dengan Firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ مِّنْ شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لاَّ تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ (44)

Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al Isra’: 44).

Sesungguhnya pelepah yang kering pun senantiasa bertasbih kepada Allah Ta’ala. Demikian pula debu, kerikil dan bebatuan di dalam tanah senantiasa bertasbih kepada-Nya. Seandainya penyebab diringankan adzab adalah tasbih, tentu tidak ada seorangpun yang mendapatkan siksa di dalam kuburnya, karena debu dan bebatuan yang berada di atas mayit juga bertasbih kepada Allah Ta’ala.

Maka, apakah pohon di kuburan dapat meringankan adzab? Tentu saja tidak. Seandainya pepohonan di atas kuburan dapat meringankan adzab, tentu orang yang paling ringan adzabnya adalah orang-orang kafir, karena kuburan mereka laksana taman yang besar disebabkan begitu banyaknya tanaman dan pepohonan yang mereka tanam di atas kuburan mereka.

Inilah Lima Golongan yang Berhak atas Jaminan Sosial dalam Islam


Sangat tepat kesimpulan yang menyatakan sumbangan terbesar syariat Islam bagi dunia kontemporer adalah perlindungan kemanusiaan. Dalam Alquran surah at-Taubah ayat 71 dijelaskan, orang-orang beriman itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.

Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mengasihi, menyayangi, dan menyantuni bagaikan satu tubuh; apabila satu bagian menderita sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.” (HR Muslim).

Ungkapan di atas menggambarkan betapa Islam mengajarkan perlindungan kemanusiaan yang menyeluruh, terhadap orang-orang miskin, atau yang punya penghasilan tapi di bawah standar kehidupan layak.

Orang miskin bukan orang yang malas dan berpangku tangan, tetapi yang mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena kendala fisik, pendidikan, lingkungan, bencana alam, atau tidak mendapat kesempatan kerja. Semua terlindungi yang dalam istilah masa kini dinamakan jaminan sosial.

Dr Musthafa Husni as-Siba’i dalam buku Kehidupan Sosial Menurut Islam (Judul asli: Isytirakiyyatul Islam) menuturkan, ada sejumlah golongan masyarakat yang berhak atas jaminan sosial.

Pertama, wajib dipelihara dan diberi jaminan sosial yaitu fakir miskin, orang sakit, orang buta, orang lumpuh, orang lanjut usia, ibnu sabil, gelandangan, dan tawanan perang.

Kedua, wajib mendapat bantuan, yaitu orang yang terlilit utang, terdakwa karena perbuatan tidak disengaja yang diwajibkan membayar denda, dan orang yang kehabisan ongkos dalam perjalanan.

Ketiga, berhak atas jaminan keselamatan sebagai tamu. Keempat, jaminan untuk merasakan nikmat Allah. Musthafa as-Siba’i memberi contoh, ketika datang panen raya, orang-orang yang tidak mampu diberi secara cuma-cuma sebagai hak yang harus dikeluarkan (QS al-An’am [6]: 141) dan pembagian warisan kepada selain ahli waris (QS an-Nisaa [4]: 8).

Kelima, jaminan untuk saling membantu keperluan hidup rumah tangga. Menurut Musthafa as-Siba’i, orang yang hendak menikah tapi tidak mampu membiayai acara perkawinannya, wajib atas keluarga dekatnya yang mampu untuk membantu.

Dalam masyarakat Muslim, semua orang apa pun agamanya harus terlindungi dari kelaparan dan penyakit yang membahayakan jiwanya. “Bila ada seorang meninggal dunia tersia-sia di lingkungan orang-orang kaya, maka orang-orang kaya itu terlepas dari perlindungan Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ahmad).

Sumber-sumber keuangan Islam untuk terselenggaranya jaminan sosial itu berasal penerimaan zakat, infak, wakaf, hibah, wasiat, ghanimah, nazar, kifarat, fidyah, kurban, zakat fitrah, kas perbendaharaan negara, dan lainnya.

Semasa Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M), sumber peneriman negara selain zakat semakin banyak. Khalifah Umar lalu mendirikan dewan perbendaharaan negara (baitul mal).

Lembaga ini tidak hanya menghimpun mata uang dinar dan dirham, tapi juga data penghasilan pekerja, data orang-orang yang wajib membayar zakat dan pembayar jizyah, di samping data fakir miskin. Model yang seyogianya ditiru oleh badan amil zakat di masa kini. Wallahu a’lam.