Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Darah haid adalah
darah normal pada wanita, berwarna hitam pekat dan berbau tidak enak, keluar
dari tempat dan waktu tertentu. Darah ini penting sekali dipahami baik bagi
wanita itu sendiri, termasuk pula bagi pria karena ia nantinya menjadi
pendamping wanita atau memiliki sanak keluarga
yang mesti ia jelaskan tentang masalah ini. Yang rumaysho.com angkat
kali ini mengenai masalah larangan bagi wanita haid. Yaitu hal-hal apa saja
yang tidak boleh dilakukan. Dan hal yang dilarang ini juga berlaku bagi wanita
nifas. Juga ada sedikit penjelasan mengenai hal-hal yang sebenarnya bukan
larangan.
Larangan
pertama: Shalat
Para ulama sepakat
bahwa diharamkan shalat bagi wanita haid dan nifas, baik shalat wajib maupun
shalat sunnah. Dan mereka pun sepakat bahwa wanita haid tidak memiliki
kewajiban shalat dan tidak perlu mengqodho’ atau menggantinya ketika ia suci.
Dari Abu Sai’d, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
"Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat
dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951
dan Muslim no. 79)
Dari Mu’adzah, ia
berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada ‘Aisyah,
أَتَجْزِى إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِىِّ - صلى
الله عليه وسلم - فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ . أَوْ
قَالَتْ فَلاَ نَفْعَلُهُ
“Apakah
kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?” ‘Aisyah menjawab, “Apakah
engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk
mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqodho’nya.”
(HR. Bukhari no. 321)
Larangan
kedua: Puasa
Dalam hadits
Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
'Kenapa
gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat?' Maka
Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ' Aku menjawab, 'Aku
bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab, 'Kami dahulu
juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha' shalat'." (HR. Muslim no. 335) Berdasarkan
kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan nifas tidak
wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28/ 20-21)
Larangan
ketiga: Jima’ (Hubungan intim di kemaluan)
Imam Nawawi
rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita
haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2:
359) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menyetubuhi wanita nifas adalah
sebagaimana wanita haid yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”
(Majmu’ Al Fatawa, 21: 624)
Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
“Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan) wanita di
waktu haid.” (QS. Al
Baqarah: 222). Imam Nawawi berkata, “Mahidh dalam ayat bisa bermakna darah
haid, ada pula yang mengatakan waktu haid dan juga ada yang berkata tempat
keluarnya haid yaitu kemaluan. … Dan menurut ulama Syafi’iyah, maksud mahidh
adalah darah haid.” (Al Majmu’, 2: 343)
Dalam hadits
disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“Barangsiapa
yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah
kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Muhamili dalam Al
Majmu’ (2: 359) menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullahberkata,
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa
besar.”
Hubungan seks yang
dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama tidak melakukan jima’
(senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah
segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).”
(HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang
muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - أَنْ
يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ - صلى
الله عليه وسلم - يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari 'Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haid. Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya
untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian
beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara
kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”
(HR. Bukhari no. 302 dan Muslim
no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab
mencumbu wanita haid di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya
darah haid atau selain kemaluannya.
Larangan
keempat: Thawaf Keliling Ka’bah
Ketika ‘Aisyah haid
saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah
segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan thawaf
di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR.
Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
Larangan
kelima: Menyentuh mushaf Al Qur’an
Orang yang berhadats
(hadats besar atau hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf seluruh atau
sebagiannya. Inilah pendapat para ulama empat madzhab. Dalil dari hal ini
adalah firman Allah Ta’ala,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”
(QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda
Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak
boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih)
Bagaimana dengan
membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya membaca Al Qur’an
bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil selama tidak
menyentuhnya.
Syaikh Ibnu Baz
rahimahullah berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca
Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada
dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak
sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an, maka
seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya
(bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di
kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan
pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)
Hal-Hal
yang Masih Dibolehkan bagi Wanita Haid dan Nifas
1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuhnya.
2. Berdzikir.
3. Bersujud ketika mendengar ayat sajadah
karena sujud tilawah tidak dipersyaratkan thoharoh menurut pendapat paling
kuat.
4. Menghadiri shalat ‘ied.
5. Masuk masjid karena tidak ada dalil
tegas yang melarangnya.
6. Melayani suami selama tidak melakukan
jima’ (hubungan intim di kemaluan).
7. Tidur bersama suami.
0 komentar:
Posting Komentar