Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Orang kaya pastikah
selalu merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih merasa
kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi
Rizki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih. Hatinya masih terasa
hampa karena ada saja yang belum ia raih.
Coba kita perhatikan
nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah
hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Dalam riwayat Ibnu
Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada
sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا
أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau
memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,”
jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya
harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa.
Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah
kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya
hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu
Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Muslim)
Inilah nasehat dari
suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa
menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk
meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang puas. Jika
diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua,
ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang
selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah.
Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.
Ibnu Baththol
rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya
harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah,
namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini
selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak
peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang
seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan
dirinya dengan harta. Perlu dikencamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang
sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup).
Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi,
selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas
ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan
ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi
orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Ibnu Hajar Al
Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati
adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia
tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti
orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan
bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu
ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang
seakan-akan kaya selamanya.
Sedangkan orang yang
disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi. Orang
seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan
ia terus berusaha kerus untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun
(entah cara halal maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia
pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta
karena ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah
orang yang tidak kaya pada hakikatnya.
Intinya, orang yang
kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan Allah
Ta’ala. Ia tahu bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan
senatiasa terus ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa
yang ia cari.”
Perkataan yang amat
bagus diungkapkan oleh para ulama:
غِنَى النَّفْس مَا يَكْفِيك مِنْ سَدّ حَاجَة فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ ذَاكَ الْغِنَى فَقْرًا
“Kaya hati adalah merasa cukup pada
segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu
berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (miskinnya hati).”
An Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu
merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji
bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus
menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia
tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati.”
Namun bukan berarti
kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
“Tidak
apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang
bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.”
(HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Dari sini bukan
berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah
merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh
beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh
sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan
Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.”
(HR. Muslim no. 1054)
Sifat qona’ah dan
selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta
pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى
الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal
huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk,
ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi
–rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan
diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang
selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”
Saudaraku ...
milikilah sifat qona’ah, kaya hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang
Allah beri. Semoga Allah menganugerahkan kita sekalian sifat yang mulia ini.
0 komentar:
Posting Komentar