Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Setelah kita
mengetahui apa saja kewajiban istri, begitu pula kewajiban suami, barangkali
ketika menjalani rumah tangga sering ada cek-cok, masalah, dan keributan.
Sampai-sampai istri berbuat nusyuz atau melakukan pembangkangan. Terutama
karena tidak memperhatikan kewajiban masing-masing dan seringnya menuntut hak.
Akhirnya keributan pun terjadi. Islam sudah mengetahui akan terjadi masalah
semacam ini dan Islam berusaha memberikan solusi terbaik, supaya rumah tangga
tetap utuh. Jangan sampai istri berbuat melampaui batas, begitu pula suami
ketika menyikapi istri.
Apa
itu Nusyuz?
Nusyuz secara bahasa
berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti
istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah
wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya
dan membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).
Hukum
Nusyuz
Nusyuz wanita pada
suami adalah haram. Karena wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan nasehat,
maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan
melainkan karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Mengenai
hukuman yang dimaksud disebutkan dalam ayat,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Mengobati
Istri yang Nusyuz
Jika wanita terus
bermuka masam di hadapan suami, padahal suami sudah berusaha berwajah seri;
berkata dengan kata kasar, padahal suami sudah berusaha untuk lemah
lembut; atau ada nusyuz yang lebih
terang-terangan seperti selalu enggan jika diajak ke ranjang, keluar dari rumah
tanpa izin suami, menolak bersafar bersama suami, maka hendaklah suami
menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan yang telah dituntukan oleh Allah
Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Urutannya dimulai dari hal
berikut ini:
1.
Memberi nasehat
Hendaklah suami
menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri dengan
mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan
tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami dan
memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya. Wanita yang baik adalah
wanita sholehah, yang taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada di
sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasehati istri dengan menyebutkan
ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.
Ancaman-ancaman
mengenai istri yang durhaka telah disebutkan dalam bahasan kewajiban istri.
Jika istri telah
menerima nasehat tersebut dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh
langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya” (QS.
An Nisa’: 34).
Namun jika nasehat
belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.
2.
Melakukan hajr
Hajr artinya
memboikot istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah
inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan
hajarlah mereka di tempat tidur mereka” (QS. An Nisa’: 34).
Mengenai cara
menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh
Ibnul Jauzi:
Tidak berhubungan
intim terutama pada saat istri butuh
Tidak mengajak
berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
Mengeluarkan
kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
Pisah ranjang (Lihat
Zaadul Masiir, 2: 76).
Cara manakah yang
kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi
istri ketika hajr.
Namun catatan penting
yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri melainkan di
rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau
ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Dan
janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula
menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah”
(HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang lain, maka si wanita
akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz.
Namun jika melakukan
hajr untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap
istri-istri beliau di luar rumah selama
sebulan.
Juga perlu
diperhatikan bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena
hal itu akan sangat berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut
jelek dan rusak atau menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan
nakal.
Berapa
lama masa hajr?
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat bulan. Namun yang lebih tepat
adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah bahwa masa hajr adalah sampai waktu istri kembali taat (tidak
nusyuz). Karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita pun
mengamalkannya secara mutlak dan tidak dibatasi.
Namun jumhur ulama
berpandangan bahwa jika hajr yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada
istri, maka maksimal hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan
nusyuz karena suami bisa melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ
“Tidak
halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara)
lebih dari tiga hari” (HR.
Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).
Jika tidak lagi
bermanfaat cara kedua ini, maka ada langkah berikutnya.
3.
Memukul istri
Memukul istri yang
nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan hajr tidak lagi bermanfaat.
Namun hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan
bagaimanakah adab dalam memukul istri:
a. Memukul dengan pukulan yang tidak membekas
Sebagaimana nasehat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban
istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang
pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).
Jika seorang suami
memukul istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka ini bukanlah mendidik.
Sehingga tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar,
mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak.
b.
Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat madzhab Hambali.
Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Burdah Al Anshori, ia mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
“Janganlah
mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah”
(HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).
c.
Tidak boleh memukul istri di wajah
Sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ
“Dan
janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu
Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
‘Aisyah menceritahkan mengenai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku
tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul
sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”.
(HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
d. Yakin bahwa dengan
memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi.
Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.
e. Jika istri telah
mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar” (QS. An
Nisa’: 34).
Demikian beberapa
solusi yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas tidaklah
bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir. Mudah-mudahan
Allah memudahkan untuk membahas hal ini. Semoga Allah memberi kemudahan demi
kemudahan.
Wallahu waliyyut
taufiq was sadaad.
0 komentar:
Posting Komentar