Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Fenomena yang menjamur di kalangan muda-mudi saat
ini, yang sulit terelakkan lagi adalah perzinaan, sebelum mendapat label sah
sebagai pasangan suami istri. Hal ini sudah dianggap biasa di tengah-tengah
masyarakat kita. Si wanita dengan menahan malu telah memiliki isi dalam
perutnya. Namun masalah yang timbul adalah bolehkah wanita tersebut dinikahi
ketika ia dalam kondisi hamil? Lalu apa akibat selanjutnya dari perbuatan zina
semacam ini.
Semoga artikel sederhana berikut ini bisa
memberikan pencerahan kepada orang-orang yang ingin mencari kebenaran. Hanya
Allah yang beri taufik.
Bahaya
Zina
Allahh Ta’ala dalam beberapa ayat telah
menerangkan bahaya zina dan menganggapnya sebagai perbuatan amat buruk.
AllahTa’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati
zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan
yang buruk.” (QS. Al
Isro’: 32)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak
menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al Furqon: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa
yang disebutkan dalam ayat ini akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang
ia lakukan.
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di
sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal
Dia-lah yang menciptakanmu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau
bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia
bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda,
ثُمَّ أَنْ تُزَانِىَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ
“Kemudian engkau berzina dengan
istri tetanggamu.” Kemudian akhirnya Allah turunkan surat
Al Furqon ayat 68 di atas. Di sini menunjukkan besarnya dosa zina, apalagi
berzina dengan istri tetangga.
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الإِيمَانُ كَانَ عَلَيْهِ كَالظُّلَّةِ فَإِذَا انْقَطَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الإِيمَانُ
“Jika seseorang itu berzina, maka
iman itu keluar dari dirinya seakan-akan dirinya sedang diliputi oleh gumpalan
awan (di atas kepalanya). Jika dia lepas dari zina, maka iman itu akan kembali
padanya.”
Inilah besarnya bahaya zina. Oleh karenanya,
syariat Islam yang mulia dan begitu sempurna sampai menutup berbagai pintu agar
setiap orang tidak terjerumus ke dalamnya. Namun itulah yang terjadi jika hal
ini dilanggar, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Terjerumuslah dalam dosa
besar zina karena tidak mengindahkan berbagai jalan yang dapat mengantarkan
pada zina seperti bentuk pacaran yang dilakukan muda-mudi saat ini. Jadilah di
antara mereka hamil di luar nikah.
Hukum
Menikahi Wanita Hamil Karena Zina
Ada beberapa fatwa ulama yang kami temukan, di
antaranya adalah Fatwa Asy Syabkah Al Islamiyah no. 9644 mengenai syarat
menikahi wanita yang dizinai, tanggal Fatwa 23 Jumadil Ula 1422 H.
Pertanyaan:
هل يجوز
لشخص
أن
يتزوج
من
إمرأة
زانية
وهو
يعلم
أنها
زنت
قبل
أن
يتزوجها،
وهو
يريد
أن
يستر
عليها
لأنها
قريبته،
وأرجو
الإفادة
منكم
،
هل
يمكن
معرفة
المفتي
. شكرا
Apakah boleh seseorang menikahi wanita yang
dizinai dan ia tahu bahwa wanita tersebut betul telah dizinai sebelum
menikahinya. Ia ingin menutup aibnya dengan menikahinya karena wanita tersebut
masih kerabatnya. Aku ingin jawaban dari kalian mengenai hal ini. Apakah hal
ini mungkin? Syukron.
Jawaban:
الحمد لله
والصلاة
والسلام
على
رسول
الله
وعلى
آله
وصحبه
وسلم
أما
بعد:
فإن الزواج
من
الزانية
مختلف
فيه
،
فمن
العلماء
من
يقول
بصحته،
ومنهم
من
يقول
بمنعه
،
وممن
قال
بمنعه
الإمام
أحمد،
وهو
قول
يشهد
له
ظاهر
الآية
الكريمة
( الزاني
لا
ينكح
إلا
زانية
أو
مشركة
والزانية
لا
ينكحها
إلا
زان
أو
مشرك
وحرم
ذلك
على
المؤمنين
) [النور:3]
وعليه فلا
يجوز
لمن
علم
من
امرأة
أنها
تزني
أن
يتزوجها
إلا
بشرطين:
أحدهما:
التوبة
إلى
الله
تعالى،
ثانيهما:
استبراؤها.
فإذا
توفر
الشرطان
جاز
الزواج
منها
،
والدليل
على
وجوب
الاستبراء
قوله
صلى
الله
عليه
وسلم
فيما
رواه
أبو
سعيد
الخدري
رضي
الله
عنه
"لا
توطأ
حامل
حتى
تضع،
ولا
غير
ذات
حمل
حتى
تحيض
حيضة".
أخرجه
البغوي
في
شرح
السنة
وأبو
داوود
وقال
ابن
حجر
في
التلخيص
إسناده
حسن
وصححه
الحاكم
وقال
على
شرط
مسلم
.
والخلاصة أن
الزانية
إذا
تابت
إلى
ربها
وتحققت
براءة
رحمها
من
ماء
السفاح
جاز
نكاحها
بأي
غرض
كان
،
فإذا
فقد
أحد
الشرطين
لم
يجز
نكاحها؟
ولو
بقصد
الستر
عليها،
والتغطية
على
عملها
القبيح
.
والله أعلم.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada
Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du:
Mengenai hukum menikahi wanita yang telah dizinai,
maka ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama mengatakan
bahwa menikahi wanita tersebut dinilai sah. Sebagian ulama lainnya melarang hal
ini. Di antara ulama yang melarangnya adalah Imam Ahmad. Pendapat ini didukung
kuat dengan firman Allah Ta’ala,
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin.” (QS. An
Nur: 3)
Jika seseorang mengetahui bahwa wanita tersebut
adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh menikahi dirinya jika memenuhi
dua syarat:
Pertama:
Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Ta’ala.
Kedua:
Istibro’ (membuktikan kosongnya rahim).
Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita
tersebut baru boleh dinikahi. Dalil yang mengharuskan adanya istibro’ adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Wanita hamil tidaklah disetubuhi
hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan
kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.”
Ringkasnya, menikahi wanita yang telah dizinai
jika wanita tersebut betul-betul telah bertaubat pada Allah dan telah melakukan
istibro’ (membuktikan kosongnya rahim dari mani hasil zina), maka ketika dua
syarat ini terpenuhi boleh menikahi dirinya dengan tujuan apa pun. Jika tidak
terpenuhi dua syarat ini, maka tidak boleh menikahinya walaupun dengan maksud untuk menutupi aibnya di
masyarakat. Bila seseorang nekad menikahkan putrinya yang telah berzina
tanpa beristibra’ terlebih dahulu, sedangkan dia tahu bahwa pernikahan itu
tidak boleh dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa itu adalah
haram, maka pernikahannya itu tidak sah. Bila keduanya melakukan hubungan badan
maka itu adalah zina. Dia harus taubat dan pernikahannya harus diulangi, bila
telah selesai istibra’ dengan satu kali haidh dari hubungan badan yang terakhir
atau setelah melahirkan.
Status
Anak Hasil Zina
Adapun nasab anak, ia dinasabkan kepada ibunya,
bukan pada bapaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak dinasabkan kepada pemilik
ranjang. Sedangkan laki-laki yang menzinai hanya akan mendapatkan kerugian.”
Firasy adalah ranjang dan di sini maksudnya adalah
si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli
tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya
atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu
dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka
anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan
penyesalan saja.
Inilah pendapat mayoritas ulama bahwa anak dari
hasil zina tidak dinasabkan kepada bapaknya, alias dia adalah anak tanpa bapak.
Namun anak tersebut dinasabkan pada ibu dan keluarga ibunya. Jika wanita yang
hamil tadi dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, maka anaknya tetap
dinasabkan pada ibunya. Sedangkan suami tersebut, status anaknya hanyalah
seperti robib(anak tiri). Jadi yang berlaku padanya adalah hukum anak tiri.
Wallahu a’lam.
Bila seseorang meyakini bahwa pernikahan semacam
ini (menikahi wanita hamil) itu sah, baik karena taqlid (ngekor beo) kepada
orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu
tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya
dan dinasabkan kepadanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Barangsiapa
menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan itu sah, maka nasab
(anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah
(kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang kami ketahui. Meskipun pada
hakikatnya pernikahan itu batil (tidak teranggap) di hadapan Allah dan
RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram
padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya)”.
Ringkasnya, anak hasil zina itu tidak dinasabkan
kepada laki-laki yang menzinai ibunya (walaupun itu jadi suaminya),
konsekuensinya:
1. Anak
itu tidak berbapak.
2. Anak
itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
3. Bila
anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya bukan
laki-laki tadi, namun walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki
wali.
Penutup
Setelah kita melihat pembahasan di atas. Awalnya
hamil di luar nikah (alias zina). Akhirnya karena nekad dinikahi ketika hamil,
nikahnya pun tidak sah. Kalau nikahnya tidak sah berarti apa yang terjadi? Yang
terjadi adalah zina. Keturunannya pun akhirnya rusak karena anak hasil zina
tidak dinasabkan pada bapak hasil zina dengan ibunya. Gara-gara zina, akhirnya
nasab menjadi rusak. Inilah akibat dari perbuatan zina. Setiap yang ditanam
pasti akan dituai hasilnya. Jika yang ditanam keburukan, maka keburukan berikut
pula yang didapat. Oleh karena itu, para salaf mengatakan,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah
kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan
selanjutnya.”
Semoga Allah senantiasa memberi taufik, memberikan
kita kekuatan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Artikel www.remajaislam.com, dipublish ulang dan
disesuaikan oleh http://www..afutuhnews.blogspot.com
Artikel : http://www.alfutuhnews.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar