Sabtu, 21 April 2012

Jadilah Keren Apa Adanya, Jangan Bohongi Diri!



Penampilan rasanya sudah ok. Apa ya yang kurang? Mata Dio berputar-putar menyapu wajah cute-nya di cermin. Ah… kurang keren nih kaya’nya kalau kurang topi. “Tapi, topi sepertinya lagi dicuci nih, Bos,” gumamnya dalam hati. Hmm… topi Dito, kakaknya, keren juga kalau dipadu dengan kaus dan jeans yang dipakainya. Dengan santai, diambilnya topi Dito di kamarnya yang tak terkunci. Kebetulan kakaknya sedang kuliah, jadi Dio dengan leluasa menyarangkan topi berwarna merah terang itu di kepalanya. Eh… jaket Dito kayaknya juga keren. Sekalian aja deh!

Dio berjalan menuju pintu depan. Ups, kantong koq kayaknya kurang tebel nih Man! “Ga’ cukup kayaknya kalau harus latihan basket bawa uang cuma segini,” batin cowok kelas 1 SMU itu. Langkahnya terayun ke kamar Dita, kakak sulungnya. “Mbak, aku pinjam uang dunk,” rengek Dio pada Dita yang sedang mengerjakan tugas akhirnya itu. “Lha, yang kemarin aja belum dipulangin. Lagi juga kamu ‘kan dikasih uang saku buat sebulan sama Ibu. Emang dikemanain?”cecar Dita. “Kurang Mbak, pinjam dunk. Aku janji deh, nanti kalau ibu kasih aku uang lagi, aku ganti uangmu Mbak.” Dita tak kalah sengit, ”Bulan lalu aja utangmu belum lunas! Lho??”

Ya, begitulah hari-hari Dio. Selalu tampil “lebih keren” dengan barang-barang pinjaman. Selalu lebih nge-bossy dengan uang saku sebulan ditambah pinjam sana-sini. Keren sih, tapi yang tahu modal asli Dio pasti akan mencibir.

...Kita membohongi diri kita sendiri bahwa sebenarnya kita bisa tampil keren bahkan lebih keren dengan apa yang kita miliki...

Punya teman seperti Dio? Atau, malah kita sendiri yang terjangkiti penyakit hobi pinjam? Be carefull, ah Sob. Yang satu ini, bisa bikin kita nggak percaya diri, cenderung berbohong, atau malah bisa bikin kita menginginkan barang milik orang lain.

Pinjam-meminjam memang kadang bisa jadi solusi instan untuk memenuhi kebutuhan atau sekadar membuat diri kita merasa lebih ok dihadapan orang lain. Untuk memperoleh barang yang kita inginkan tak perlu pengeluaran ekstra. Bermodal kepercayaan, kita bisa tampil lebih gaya dengan barang yang kita pinjam. Tapi, inilah awal yang paling beresiko bagi diri kita dalam membangun kepercayaan diri. Kita tak cukup percaya diri dengan apa yang kita miliki. Kita tak merasa dengan apa yang kita miliki, kita bisa jadi yang paling keren ”luar-dalam”.

Belajar dari shahabat Umar RA

Padahal Sobat, yang namanya pinjam adalah ajang pertaruhan kepercayaan yang harganya sama spekulatifnya dengan kapan ajal menjemput. Yuk, kita simak sejenak kisah Umar bin Khaththab yang pernah ingin pinjam uang ke Baitul Mal. Umar RA ketika itu getir hatinya melihat anaknya pulang sekolah sambil menangis. Anaknya tersebut diejek teman-temannya, “Lihatlah, anak Amirul Mukminin (presiden) bajunya tambalan seperti itu!”

Melihat anaknya diejek sedemikian, Umar pun merasa iba. Dia lantas mengajukan pinjaman ke Bendahara Negara sebesar empat dirham dengan jaminan gajinya sebagai presiden bulan depan. Namun, jawaban yang diberikan Sang Bendahara Negara sungguh tak terduga, “Wahai Umar, adakah engkau dapat memastikan bahwa engkau masih hidup hingga bulan depan? Bagaimana jika engkau mati sebelum melunasi hutangmu itu? Apa yang akan engkau perbuat terhadap hutangmu di hadapan Allah?

Umar RA pun menangis ditegur sedemikian rupa oleh bawahannya tersebut. Dia lantas menyuruh anaknya berangkat sekolah seperti biasa. Demikianlah Umar bin Khaththab, presiden kaum Muslimin kedua setelah Rasulullah SAW mangkat. Sedemikian takut belum dapat melunasi hutangnya, bila ajal keburu menjemput. Padahal, beliau adalah presiden yang “dapat berbuat apapun.” Namun, Umar lebih takut pada Rabbnya, dibandingkan harus menyerah pada keinginannya.

Demikian pula dengan kepercayaan yang membebani kita manakala memimjam. Kita tidak tahu apakah barang yang kita pinjam tersebut akan aman selama berada di tangan kita. Apakah kita dapat mengembalikannya dalam keadaan seperti semula, ataukah akan ada sesuatu yang membuat barang yang kita pinjam tersebut rusak atau uang yang kita pinjam tersebut tidak dapat kembali tepat waktu? Lalu, masih adakah umur bagi kita untuk mengembalikannya? Bukankah kalau kita tidak mengembalikan sesuai dengan keadaan semula atau tidak tepat waktu, itu sama saja dengan merusak kepercayaan?

...Kita juga akan cenderung menjadi orang yang membohongi diri dengan menjadikan meminjam sebagai kebiasaan...

Kita juga akan cenderung menjadi orang yang membohongi diri dengan menjadikan meminjam sebagai kebiasaan. Kita akan membohongi potensi kita yang sebenarnya. Kita membohongi diri kita sendiri bahwa sebenarnya kita bisa tampil sama keren bahkan lebih keren dengan apa yang kita miliki. Dengan demikian, kita tidak akan pernah menemukan “siapa kita sebenarnya.”

Bila sudah dalam keadaan akut, kebiasaan pinjam bahkan akan mendorong kita untuk memiliki apa yang kita pinjam tersebut. Maka jadilah barang pinjaman tersebut berubah status menjadi hak milik. Wah repot deh kalau udah sampe kayak gini.

So, sobat… yuk inget-inget banget firman Allah SWT berikut ini: “Dan (ingatlah) ketika Robb-mu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari maka pasti azab-Ku sangat berat(Qs Ibrahim 7)

Yuk bersyukur dengan apa yang kita punya. Pinjam? Boleh aja kalau itu memang harus dilakukan untuk hal yang sangat penting. Kalau cuma sekadar menunjang penampilan… kamu udah keren apa adanya koq!

Artikel www. voa-islam.com.com, dipublish ulang dan disesuaikan oleh http://www..afutuhnews.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar