Oleh : Fajar Iswanto
Pertama, jika
berutang tadi mampu untuk dilunasi ditambah ia masih memiliki nafkah untuk
berangkat haji dan ia tidak terasa berat untuk melunasinya, atau ia berhaji dan
diizinkan dan diridhoi oleh orang yang memberi utangan, maka dibolehkan seperti
itu. Jika tidak demikian, maka tidak dibolehkan ia berhaji. Namun seandainya ia
berhaji pun dalam keadaan seperti itu, hajinya sah.
Kedua, hukum berhaji
bagi seorang mukallaf (yang dibebani syariat) adalah wajib jika ia mampu (untuk
berhaji), terserah dia sudah menikah ataukah masih bujang. Hal ini berdasarkan
keumuman firman Allah Ta’ala,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imron: 97)
Dari sini kita dapat
memahami bahwa hukum haji dalam keadaan berutang itu boleh asalkan ia mampu
atau yakin melunasi utangnya atau diridhoi oleh orang yang memberi utangan.
Namun tentu saja utang ini dicari dengan jalan yang halal, tanpa riba, tanpa
bunga, bukan meminjam di bank. Akan tetapi, demikianlah keadaan sebagian orang
yang berangkat berhaji, tidak kenal halal dan haram. Padahal haji adalah ibadah
yang amat urgent. Namun kenapa begitu nekad mendatangi bank dan meminjam uang
dari mereka, dan ini tentu saja riba. Karena di balik utang bank itu ada
keuntungan yang mereka ambil. Keuntungan inilah riba. Sebagaimana para ulama
katakan, “Setiap utangan yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.” Jika
orang berhaji, carilah cara yang halal untuk mendapatkan utang karena ancaman
adalah laknat Allah bagi orang yang meminjam uang dan membayar ribanya.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang
menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.”
Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598)
Renungkanlah,
bagaimana bisa meraih haji mabrur jika sejak awal sudah mendapatkan laknat
seperti ini? Padahal yang disebut haji mabrur adalah sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa
yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat
kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh
ibunya.” (HR. Bukhari
no. 1521). Ibnu Kholawaih berkata, “Haji mabrur adalah haji yang maqbul
(haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji
yang tidak tercampuri dengan dosa.” (Lihat Fathul Bari, 3/382)
Sabarlah untuk
menabung sebagai bekal haji. Jika kita ingin selalu cari yang halal dan
diridhoi Allah, pasti Allah akan mudahkan.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya
jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti
padamu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Sumber www.rumaysho.com di Posting Ulang http://alfutuhnews.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar