Alhamdulillah. Kita
panjatkan segala puji pada Allah dan kita meminta pertolonganNya. Seraya
memohon ampun dan meminta perlindunganNya dari segala keburukan jiwa dan dari
kejelekan amaliah. Barangsiapa yang telah Allah tunjukkan jalan baginya, maka
tiada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang telah Allah sesatkan
jalannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Ya Allah limpahkanlah
salawat dan salam bagi Muhammad saw berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya,
semuanya.
Para pembaca yang
semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Belakangan
ini di antara kita pernah mendengar mengenai fatwa haramnya Facebook,
sebuah layanan pertemanan di dunia maya yang hampir serupa dengan Friendster
dan layanan pertemanan lainnya. Banyak yang bingung dalam menyikapi fatwa
semacam ini. Namun, bagi orang yang diberi anugerah ilmu oleh Allah tentu tidak
akan bingung dalam menyikapi fatwa tersebut.
Dalam tulisan yang
singkat ini, dengan izin dan pertolongan Allah kami akan membahas tema yang
cukup menarik ini, yang sempat membuat sebagian orang kaget. Tetapi sebelumnya,
ada beberapa preface yang akan kami kemukakan.Semoga Allah memudahkannya.
Dua
Kaedah yang Mesti Diperhatikan
Saudaraku, yang
semoga selalu mendapatkan taufik dan hidayah Allah Ta’ala. Dari hasil
penelitian dari Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama membuat dua kaedah ushul
fiqih berikut ini:
Hukum asal untuk
perkara ibadah adalah terlarang dan tidaklah disyari’atkan sampai Allah dan
Rasul-Nya mensyari’atkan.
Sebaliknya, hukum
asal untuk perkara ‘aadat (non ibadah) adalah dibolehkan dan tidak diharamkan
sampai Allah dan Rasul-Nya melarangnya.
Apa
yang dimaksud dua kaedah di atas?
Untuk kaedah pertama
yaitu hukum asal setiap perkara ibadah adalah terlarang sampai ada dalil yang
mensyariatkannya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ibadah adalah sesuatu
yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang
memerintahkan atau menganjurkan suatu amalan yang tidak ditunjukkan oleh Al
Qur’an dan hadits, maka orang seperti ini berarti telah mengada-ada dalam
beragama (baca: berbuat bid’ah). Amalan yang dilakukan oleh orang semacam ini
pun tertolak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no.
1718)
Namun, untuk perkara
‘aadat (non ibadah) seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, dan
mu’amalat, hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang
mengharamkannya. Dalil untuk kaedah kedua ini adalah firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”.
(QS. Al Baqarah: 29).
Maksudnya,
adalah Allah menciptakan segala yang ada di muka bumi ini untuk dimanfaatkan.
Itu berarti diperbolehkan selama tidak dilarangkan oleh syari’at dan tidak
mendatangkan bahaya.
Allah Ta’ala juga
berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي لِلَّذِينَ آمَنُواْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja)
di hari kiamat ." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui.” (QS.
Al A’raaf: 32). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengingkari siapa saja yang
mengharamkan makanan, minuman, pakaian, dan semacamnya.
Jadi, jika ada yang
menanyakan mengenai hukum makanan “tahu”? Apa hukumnya? Maka jawabannya adalah
“tahu” itu halal dan diperbolehkan.
Jika ada yang
menanyakan lagi mengenai hukum minuman “Coca-cola”? Apa hukumnya? Maka
jawabannya juga sama yaitu halal dan diperbolehkan.
Begitu pula jika ada
yang menanyakan mengenai jual beli laptop? Apa hukumnya? Jawabannya adalah
halal dan diperbolehkan.
Jadi, untuk perkara
non ibadah seperti tadi, hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya. Makan bangkai menjadi haram, karena dilarang
oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula pakaian sutra bagi laki-laki diharamkan
karena ada dalil yang menunjukkan demikian. Namun asalnya untuk perkara non
ibadah adalah halal dan diperbolehkan.
Oleh karena itu, jika
ada yang menanyakan pada kami bagaimana hukum Facebook? Maka kami jawab bahwa
hukum asal Facebook adalah sebagaimana handphone, email, website, blog, radio
dan alat-alat teknologi lainnya yaitu sama-sama mubah dan diperbolehkan.
Hukum
Sarana sama dengan Hukum Tujuan
Perkara mubah (yang
dibolehkan) itu ada dua macam. Ada perkara mubah yang dibolehkan dilihat dari
dzatnya dan ada pula perkara mubah yang menjadi wasilah (perantara) kepada
sesuatu yang diperintahkan atau sesuatu yang dilarang.
Syaikh ‘Abdurrahman
bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- mengatakan,
“Perkara mubah
dibolehkan dan diizinkan oleh syari’at untuk dilakukan. Namun, perkara mubah
itu dapat pula mengantarkan kepada hal-hal yang baik maka dia dikelompokkan
dalam hal-hal yang diperintahkan. Perkara mubah terkadang pula mengantarkan
pada hal yang jelek, maka dia dikelompokkan dalam hal-hal yang dilarang.
Inilah landasan yang
harus diketahui setiap muslim bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan (al
wasa-il laha hukmul maqhosid).”
Maksud perkataan
beliau di atas:
Apabila perkara mubah
tersebut mengantarkan pada kebaikan, maka perkara mubah tersebut diperintahkan,
baik dengan perintah yang wajib atau pun yang sunnah. Orang yang melakukan
mubah seperti ini akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya.
Misalnya : Tidur
adalah suatu hal yang mubah. Namun, jika tidur itu bisa membantu dalam
melakukan ketaatan pada Allah atau bisa membantu dalam mencari rizki, maka
tidur tersebut menjadi mustahab (dianjurkan/disunnahkan) dan akan diberi
ganjaran jika diniatkan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah.
Begitu pula jika
perkara mubah dapat mengantarkan pada sesuatu yang dilarang, maka hukumnya pun
menjadi terlarang, baik dengan larangan haram maupun makruh.
Misalnya : Terlarang
menjual barang yang sebenarnya mubah namun nantinya akan digunakan untuk
maksiat. Seperti menjual anggur untuk dijadikan khomr.
Contoh lainnya adalah
makan dan minum dari yang thoyib dan mubah, namun secara berlebihan sampai
merusak sistem pencernaan, maka ini sebaiknya ditinggalkan (makruh).
Bersenda gurau atau
guyon juga asalnya adalah mubah.
Sebagian ulama mengatakan, “Canda itu bagaikan garam untuk makanan. Jika
terlalu banyak tidak enak, terlalu sedikit juga tidak enak.” Jadi, jika guyon
tersebut sampai melalaikan dari perkara yang wajib seperti shalat atau
mengganggu orang lain, maka guyon seperti ini menjadi terlarang.
Oleh karena itu, jika
sudah ditetapkan hukum pada tujuan, maka sarana (perantara) menuju tujuan tadi
akan memiliki hukum yang sama. Perantara pada sesuatu yang diperintahkan, maka
perantara tersebut diperintahkan. Begitu pula perantara pada sesuatu yang
dilarang, maka perantara tersebut dilarang pula. Misalnya tujuan tersebut
wajib, maka sarana yang mengantarkan kepada yang wajib ini ikut menjadi wajib.
Contohnya :
Menunaikan shalat lima waktu adalah sebagai tujuan. Dan berjalan ke tempat
shalat (masjid) adalah wasilah (perantara). Maka karena tujuan tadi wajib, maka
wasilah di sini juga ikut menjadi wajib. Ini berlaku untuk perkara sunnah dan
seterusnya.
Intinya,
Hukum Facebook adalah Tergantung Pemanfaatannya
Jadi intinya, hukum
facebook adalah tergantung pemanfaatannya. Kalau pemanfaatannya adalah untuk
perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat, maka facebook pun bernilai sia-sia
dan hanya membuang-buang waktu. Begitu pula jika facebook digunakan untuk
perkara yang haram, maka hukumnya pun menjadi haram. Hal ini semua termasuk
dalam kaedah “al wasa-il laha hukmul maqhosid (hukum sarana sama dengan hukum
tujuan).” Di bawah kaedah ini terdapat kaedah derivat atau turunan lainnya
yaitu:
Maa laa yatimmul
wajibu illah bihi fa huwa wajib (Suatu yang wajib yang tidak sempurna kecuali
dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi wajib)
Maa laa yatimmul
masnun illah bihi fa huwa masnun (Suatu yang sunnah yang tidak sempurna kecuali
dengan sarana ini, maka sarana ini menjadi sunnah)
Maa yatawaqqoful
haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa menyebabkan terjerumus pada yang
haram, maka sarana menuju yang haram tersebut menjadi haram)
Wasail makruh
makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh)
Maka lihatlah kaedah
derivat yang ketiga di atas. Intinya, jika facebook digunakan untuk yang haram
dan sia-sia, maka facebook menjadi haram dan terlarang.
Kita dapat melihat
bahwa tidak sedikit di antara pengguna facebook yang melakukan hubungan gelap
di luar nikah di dunia maya. Padahal lawan jenis yang diajak berhubungan
bukanlah mahram dan bukan istri. Sungguh, banyak terjadi perselingkuhan karena
kasus semacam ini. Jika memang facebook banyak digunakan untuk tujuan-tujuan
semacam ini, maka sungguh kami katakan, “Hukum facebook sebagaimana hukum
pemanfaatannya. Kalau dimanfaatkan untuk yang haram, maka facebook pun menjadi
haram.”
Waktu
yang Sia-sia Di Depan Facebook
Saudaraku, inilah
yang kami ingatkan untuk para pengguna facebook. Ingatlah waktumu! Kebanyakan
orang betah berjam-jam di depan facebook, bisa sampai 5 jam bahkan seharian,
namun mereka begitu tidak betah di depan Al Qur’an dan majelis ilmu. Sungguh,
ini yang kami sayangkan bagi saudara-saudaraku yang begitu gandrung dengan
facebook. Oleh karena itu, sadarlah!!
Semoga beberapa
nasehat ulama kembali menyadarkanmu tentang waktu dan hidupmu.
Imam Asy Syafi’i
rahimahullah pernah mengatakan, “Aku
pernah bersama dengan seorang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya
selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu
tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”
Lanjutan dari
perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, “Kemudian
orang sufi tersebut menyebutkan perkataan lain: Jika dirimu tidak tersibukkan
dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang
sia-sia (batil).” (Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu
tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi
dan penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih.
Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung).
Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka
itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai
kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”
Ingatlah
... kematian lebih layak bagi orang yang menyia-nyiakan waktu.
Ibnul Qayyim
mengatakan, “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai,
untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil,
hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka
sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.” (Al Jawabul Kafi, 109)
Marilah
Memanfaatkan Facebook untuk Dakwah
Inilah pemanfaatan
yang paling baik yaitu facebook dimanfaatkan untuk dakwah. Betapa banyak orang
yang senang dikirimi nasehat agama yang dibaca di inbox, note atau melalui link
mereka. Banyak yang sadar dan kembali kepada jalan kebenaran karena membaca
nasehat-nasehat tersebut.
Oleh karena itu,
jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain apalagi dalam masalah agama, yang
tentu saja dengan bekal ini akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari Jabir, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang
lain.” (Al Jaami’ Ash Shogir, no. 11608)
Dari Abu Mas’ud Al
Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa memberi petunjuk pada orang lain, maka dia mendapat
ganjaran sebagaimana ganjaran orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
"Jika Allah memberikan hidayah kepada
seseorang melalui perantaraanmu maka itu lebih baik bagimu daripada mendapatkan
unta merah (harta yang paling berharga orang Arab saat itu)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah saudaraku,
bagaimana jika tulisan kita dalam note, status, atau link di facebook dibaca
oleh 5, 1o bahkan ratusan orang, lalu mereka amalkan, betapa banyak pahala yang
kita peroleh. Jadi, facebook jika dimanfaatkan untuk dakwah semacam ini, sungguh
sangat bermanfaat.
Penutup:
Nasehat bagi Para Pengguna Facebook
Imam Asy Syafi’I
mengatakan, “Jika dirimu tidak
tersibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan tersibukkan dengan hal-hal
yang sia-sia (batil)”.( Al Jawabul Kafi, 109)
Semoga kita selalu
disibukkan dengan hal yang dapat memberikan manfaat pada orang lain. Alangkah
bagusnya jika status, note dan link yang kita berikan pada saudara-saudara kita
berisi siraman-siraman rohani. Itu lebih baik dan lebih bermanfaat dibandinga
dengan mengisi status di FB dengan hal-hal yang sia-sia atau bahkan dosa.
Kami hanya bisa
berdoa kepada Allah, semoga Allah memberikan taufik dan hidayah bagi orang yang
membaca tulisan ini. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk memanfaatkan waktu
dengan baik, dalam hal-hal yang bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
0 komentar:
Posting Komentar