Kamis, 05 April 2012

Perbedaan Mandi Haid Dengan Mandi Janabat


Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah yang menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang menjadi teladan dalam bersuci dan menjadi tempat bertanya dalam urusan agama, juga kepada keluarga, dan para sahabatnya.


Mandi dari haid dan nifas, pada dasarnya, sama seperti mandi janabat. Yaitu harus terpenuhi dua rukun utama, niat dan meratakan air ke seluruh tubuh dari ujung rambut sampai pangkal kaki. Tidak boleh ada satu titik dari itu yang tidak terbasuh air.

1. Disunnahkan menggunakan sabun dan alat pembersih lainnya selain air agar hilang bau tidak sedap dari sisa haid 

Dasarnya dalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara mandi dari haid, maka beliau bersabda,

تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا

Hendaknya salah seorang kalian menyiapkan air dan daun bidara, lalu bersuci dengannya dengan sempurna (yaitu berwudhu menurut keterangan sebagian ulama). Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan mengosoknya dengan kuat sehingga air membasahi kulit kepalanya. Lalu mengguyurkan air ke atas tubuhnya. Kemudian ambillah sepotong kapas yang telah dibubuhi minyak wangi, lalu bersihkanlah dengannya.

Lalu Asma’ bertanya, Bagaimana wanita membersihkan dengan kapas itu?” Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Subhanallah, bersihkanlah dengannya.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Seakan-akan wanita tersebut tidak mengetahuinya, yaitu engkau membersihkan bekas darah itu dengannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Lebih 

2. Mengurai rambutnya yang dikepang dan menggosok kulit kepala dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepalanya
Dasarnya adalah hadits di atas,

ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا
Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan menggosoknya dengan kuat sehingga air membasahi kulit kepalanya.

Ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak mencukupkan hanya dengan menuangkan air, seperti halnya mandi junub. Apalagi dalam kelanjutan hadits tersebut ditanyakan juga tentang mandi janabat, lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,

ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا 
Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan mengosoknya sehingga air membasahi kulit kepalanya(HR. Al-Bukhari dan Muslim) tanpa ada tambahan fatadlukuhu dalkan syadidan (dan mengosoknya dengan kuat). Dengan demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membedakan cara menyiram dan mengucek rambut dalam mandi janabat dan mandi selepas haid. Bagi wanita yang haid ditekankan agar bersuci dan mengucek kepalanya dengan kuat dan sungguh-sungguh. Sedangkan dalam mandi janabat tidak ditekankan hal itu.

Berkaitan dengan rambut yang dikepang, ketika mandi junub dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Ini berbeda dengan mandi selepas haid, yang sangat dianjurkan untuk melepas kepangannya dan mengurai rambutnya.

Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku seorang wanita yang  suka menggelung/mengepang rambut. Haruskan aku melepasnya saat mandi junub? Beliau menjawab, 

لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
“Tidak, cukup bagimu menyiram kepalamu 3 kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh tubuh. Dengan demikian engkau telah suci.(HR. Muslim dan Ashabus Sunan. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa Ghalil no. 136)

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada ‘Aisyah saat mendapat haid ketika melaksanakan haji, “Tinggalkan (rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat mandi), dan sisirlah rambutmu.(HR. al-Bukhari)

 Syaikh Bin Bazz rahimahullaah menjelaskan dalam Ta’liqnya atas Mutaqa al-Akhbar milik Ibnu Taimiyah, “Lebih dianjurkan bagi wanita haid untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi sehabis haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi junub.”

Hukum Mengurai Rambut Saat Mandi Haid

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum rinci tentang mengurai rambut yang dikepang bagi wanita haid saat mandi haid. Imam Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah berpendapat: Hukumnya dianjurkan, bukan wajib. Sementara Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri, dan Thawus berpendapat bahwa wanita yang mandi dari haid wajib melepas ikatan rambutnya, berdasarkan hadits-hadits yang lalu.

Menurut Pengarang Shahih Fiqih Sunnah, pendapat kedua-lah yang lebih kuat dalam masalah ini, seperti yang telah ditahqiq oleh Ibnul Qayyim rahimahullaah. (Lihat: Tahdzib Sunan: I/193 dan Aunul Ma’bud)

Lalu Syaikh Abu Malik Kamal berkata, “Berdasarkan hal ini, maka wajib bagi wanita untuk mengurai rambutnya apabila hendak mandi dari haid atau nifas secara khusus. Dan inilah yang lebih selamat untuk diamalkan.” (Shahih Fiqih Sunnah: I/293)

“Berdasarkan hal ini, maka wajib bagi wanita untuk mengurai rambutnya apabila hendak mandi dari haid atau nifas secara khusus. Dan inilah yang lebih selamat untuk diamalkan.”
(Shahih Fiqih Sunnah: I/293)

Hikmah Mengurai Rambut

Tujuan dari mengurai rambut dan melepaskan kepangan adalah untuk meyakinkan sampainya air ke dasar rambut. Hanya saja pada mandi janabat (junub) masih ditolerir, karena seringnya hal itu dilakukan dan karena adanya kesulitan yang sangat saat mengurainya. Lain halnya dengan mandi haid yang hanya terjadi setiap sebulan sekali. (Disarikan dari Tahdziib Sunan Abi Dawud, Ibnul Qayyim: I/167, no. 166)

3. Mengoleskan sepotong kain atau kapas yang dibubuhi minyak wangi ke kemaluannya dan bagian tubuh yang terkena darah sesudah mandi 

Dianjurkan bagi wanita untuk menggunakan sepotong kain atau kapas yang telah dibubuhi minyak wangi dan mengoleskan pada kemaluannya sesudah mandi. Demikian juga bagian tubuh yang terkena darah, hendaknya dibersihkan dengan kapas tadi. Hal ini didasakan pada hadits Aisyah di atas tentang pertanyaan Asma’ radhiyallahu 'anhuma.

Hikmahnya

Para ulama berbeda pendapat tentang hikmah dianjurkannya memakai minyak wangi ini. Dan pendapat yang kuat, tujuan mengoleskan minyak wangi tadi untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan supaya kemaluan dan tempat terkena darah haid menjadi harum. Karenanya, jika tidak didapatkan minyak wangi bisa digantikan dengan benda lain yang memiliki bau harum atau yang bisa menghilangkan bau tidak sedap. Jika semua itu tidak didapatkan, maka menggunakan air saja sudah cukup. Namun jika ada minyak wangi tapi tidak menggunakannya, maka dimakruhkan. (Lihat Syarah shahih Muslim atas hadits di atas)

"Tujuan mengoleskan minyak wangi tadi untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan supaya kemaluan dan tempat terkena darah haid menjadi harum."

Anjuran ini ditujukan kepada setiap wanita yang bersih dari nifas atau haid, baik dia punya suami atau tidak. Dan tentunya bagi yang bersuami lebih ditekankan, agar suami bersemangat untuk menggaulinya sesudah suci, sebagaimana anjuran bagi suami untuk segera menggauli istrinya sesudah berhenti dari haid dan nifas. Wallahu Ta’ala A’lam.

Bagaimana Dengan Wanita yang Sedang Berkabung?

Pada dasarnya wanita yang sedang berkabung tidak boleh memakai minyak wangi. Namun, untuk mandi dari haid diberi keringanan. Karenanya dia tetap dianjurkan untuk memakai minyak wangi untuk menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya dan tempat yang terkena darah haidnya, walaupun dia sedang berkabung atas kematian suami atau salah seorang keluarganya.

Bagi wanita yang ditinggal suaminya tetap dianjurkan untuk memakai minyak wangi untuk menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya dan tempat yang terkena darah haidnya

Dasarnya adalah hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu 'anha tentang hal-hal yang dilarang ketika sedang berkabung, “Kami tidak boleh memakai minyak wangi dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup, kecuali pakaian yang biasa untuk bekerja. Namun kami diberikan keringanan, jika salah seorang kami mandi setelah ia suci dari haidnya untuk menggunakan sepotong kapas yang dibubuhi minyak wangi.(HR. Al-Buhkari, no. 313)

[voa-islam.com]
Oleh: Badrul Tamam
Red : Fajar

0 komentar:

Posting Komentar