Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah
yang menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
menyucikan diri. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang
menjadi teladan dalam bersuci dan menjadi tempat bertanya dalam urusan agama,
juga kepada keluarga, dan para sahabatnya.
Mandi dari haid dan nifas, pada
dasarnya, sama seperti mandi janabat. Yaitu harus terpenuhi dua rukun utama,
niat dan meratakan air ke seluruh tubuh dari ujung rambut sampai pangkal kaki.
Tidak boleh ada satu titik dari itu yang tidak terbasuh air.
1. Disunnahkan menggunakan sabun dan
alat pembersih lainnya selain air agar hilang bau tidak sedap dari sisa haid
Dasarnya dalah hadits Aisyah radhiyallahu
'anha, Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang
cara mandi dari haid, maka beliau bersabda,
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ
تَصُبُّ عَلَى
رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ
تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ
تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا
“Hendaknya salah seorang kalian
menyiapkan air dan daun bidara, lalu bersuci dengannya dengan sempurna (yaitu
berwudhu menurut keterangan sebagian ulama). Kemudian dia menuangkan air di
atas kepalanya dan mengosoknya dengan kuat sehingga air membasahi kulit
kepalanya. Lalu mengguyurkan air ke atas tubuhnya. Kemudian ambillah sepotong
kapas yang telah dibubuhi minyak wangi, lalu bersihkanlah dengannya.”
Lalu Asma’ bertanya, Bagaimana wanita
membersihkan dengan kapas itu?” Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, “Subhanallah, bersihkanlah dengannya.”
Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata, “Seakan-akan wanita tersebut tidak mengetahuinya, yaitu engkau
membersihkan bekas darah itu dengannya.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim) Lebih
2. Mengurai rambutnya yang dikepang dan
menggosok kulit kepala dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepalanya
Dasarnya adalah hadits di atas,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى
رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا
“Kemudian dia menuangkan air di atas
kepalanya dan menggosoknya dengan kuat sehingga air membasahi kulit kepalanya.”
Ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu
'alaihi wasallam tidak mencukupkan hanya dengan menuangkan air, seperti
halnya mandi junub. Apalagi dalam kelanjutan hadits tersebut ditanyakan juga
tentang mandi janabat, lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam
menjawab,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى
رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا
“Kemudian dia menuangkan air di atas
kepalanya dan mengosoknya sehingga air membasahi kulit kepalanya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) tanpa ada
tambahan fatadlukuhu dalkan syadidan (dan mengosoknya dengan kuat).
Dengan demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membedakan cara
menyiram dan mengucek rambut dalam mandi janabat dan mandi selepas haid. Bagi
wanita yang haid ditekankan agar bersuci dan mengucek kepalanya dengan kuat dan
sungguh-sungguh. Sedangkan dalam mandi janabat tidak ditekankan hal itu.
Berkaitan dengan rambut yang dikepang,
ketika mandi junub dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Ini berbeda
dengan mandi selepas haid, yang sangat dianjurkan untuk melepas kepangannya dan
mengurai rambutnya.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah
radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku seorang wanita yang suka
menggelung/mengepang rambut. Haruskan aku melepasnya saat mandi junub? Beliau
menjawab,
لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ
تَحْثِيَ عَلَى
رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ
تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
“Tidak, cukup bagimu menyiram kepalamu
3 kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh tubuh. Dengan demikian
engkau telah suci.”
(HR. Muslim dan Ashabus Sunan. Hadits
ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa Ghalil no. 136)
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
pernah bersabda kepada ‘Aisyah saat mendapat haid ketika melaksanakan haji, “Tinggalkan
(rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat mandi), dan
sisirlah rambutmu.” (HR. al-Bukhari)
Syaikh Bin Bazz rahimahullaah
menjelaskan dalam Ta’liqnya atas Mutaqa al-Akhbar milik Ibnu Taimiyah, “Lebih
dianjurkan bagi wanita haid untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi sehabis
haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi junub.”
Hukum
Mengurai Rambut Saat Mandi Haid
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum rinci tentang mengurai rambut yang dikepang bagi wanita haid saat mandi
haid. Imam Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah berpendapat: Hukumnya dianjurkan,
bukan wajib. Sementara Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri, dan Thawus berpendapat
bahwa wanita yang mandi dari haid wajib melepas ikatan rambutnya, berdasarkan
hadits-hadits yang lalu.
Menurut Pengarang Shahih Fiqih Sunnah,
pendapat kedua-lah yang lebih kuat dalam masalah ini, seperti yang telah ditahqiq
oleh Ibnul Qayyim rahimahullaah. (Lihat: Tahdzib Sunan: I/193 dan Aunul
Ma’bud)
Lalu Syaikh Abu Malik Kamal berkata,
“Berdasarkan hal ini, maka wajib bagi wanita untuk mengurai rambutnya apabila
hendak mandi dari haid atau nifas secara khusus. Dan inilah yang lebih selamat
untuk diamalkan.” (Shahih Fiqih Sunnah: I/293)
“Berdasarkan
hal ini, maka wajib bagi wanita untuk mengurai rambutnya apabila hendak mandi
dari haid atau nifas secara khusus. Dan inilah yang lebih selamat untuk
diamalkan.”
(Shahih
Fiqih Sunnah: I/293)
Hikmah Mengurai Rambut
Tujuan dari mengurai rambut dan
melepaskan kepangan adalah untuk meyakinkan sampainya air ke dasar rambut.
Hanya saja pada mandi janabat (junub) masih ditolerir, karena seringnya hal itu
dilakukan dan karena adanya kesulitan yang sangat saat mengurainya. Lain halnya
dengan mandi haid yang hanya terjadi setiap sebulan sekali. (Disarikan dari
Tahdziib Sunan Abi Dawud, Ibnul Qayyim: I/167, no. 166)
3. Mengoleskan sepotong kain atau kapas
yang dibubuhi minyak wangi ke kemaluannya dan bagian tubuh yang terkena darah
sesudah mandi
Dianjurkan bagi wanita untuk
menggunakan sepotong kain atau kapas yang telah dibubuhi minyak wangi dan
mengoleskan pada kemaluannya sesudah mandi. Demikian juga bagian tubuh yang
terkena darah, hendaknya dibersihkan dengan kapas tadi. Hal ini didasakan pada
hadits Aisyah di atas tentang pertanyaan Asma’ radhiyallahu 'anhuma.
Hikmahnya
Para ulama berbeda pendapat tentang
hikmah dianjurkannya memakai minyak wangi ini. Dan pendapat yang kuat, tujuan
mengoleskan minyak wangi tadi untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan
supaya kemaluan dan tempat terkena darah haid menjadi harum. Karenanya, jika
tidak didapatkan minyak wangi bisa digantikan dengan benda lain yang memiliki
bau harum atau yang bisa menghilangkan bau tidak sedap. Jika semua itu tidak
didapatkan, maka menggunakan air saja sudah cukup. Namun jika ada minyak wangi
tapi tidak menggunakannya, maka dimakruhkan. (Lihat Syarah shahih Muslim atas
hadits di atas)
"Tujuan
mengoleskan minyak wangi tadi untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan
supaya kemaluan dan tempat terkena darah haid menjadi harum."
Anjuran ini ditujukan kepada setiap
wanita yang bersih dari nifas atau haid, baik dia punya suami atau tidak. Dan
tentunya bagi yang bersuami lebih ditekankan, agar suami bersemangat untuk
menggaulinya sesudah suci, sebagaimana anjuran bagi suami untuk segera
menggauli istrinya sesudah berhenti dari haid dan nifas. Wallahu Ta’ala A’lam.
Bagaimana Dengan Wanita yang Sedang
Berkabung?
Pada dasarnya wanita yang sedang
berkabung tidak boleh memakai minyak wangi. Namun, untuk mandi dari haid diberi
keringanan. Karenanya dia tetap dianjurkan untuk memakai minyak wangi untuk
menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya dan tempat yang terkena darah
haidnya, walaupun dia sedang berkabung atas kematian suami atau salah seorang
keluarganya.
Bagi wanita
yang ditinggal suaminya tetap dianjurkan untuk memakai minyak wangi untuk
menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya dan tempat yang terkena darah
haidnya
Dasarnya adalah hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu
'anha tentang hal-hal yang dilarang ketika sedang berkabung, “Kami tidak
boleh memakai minyak wangi dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup,
kecuali pakaian yang biasa untuk bekerja. Namun kami diberikan keringanan, jika
salah seorang kami mandi setelah ia suci dari haidnya untuk menggunakan
sepotong kapas yang dibubuhi minyak wangi.” (HR. Al-Buhkari, no. 313)
[voa-islam.com]
Oleh: Badrul Tamam
Red : Fajar
0 komentar:
Posting Komentar