Perlu diketahui, tidak terdapat hadits
shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para
sahabat yang menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi
pujian ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya
sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan yang
disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
عجبت
لمن عام
ونام بعد
العصر
"Aku heran dengan orang yang
terbaring dan tidur sesudah 'Ashar," tidak terdapat dalam kitab-kitab
hadits. Tak seorangpun ulama yang menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah
hadits palsu dan tidak memiliki sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya.
Tidak boleh pula menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan
tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal sudah
sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ
يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah
‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia
mencela selain dirinya sendiri."
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam
Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban dalam
"Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin al-Qasim,
dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari 'Urwah, dari 'Aisyah
secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul
Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak
shahih, Khalid adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu
diambil Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali
(2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya
menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian al-Suyuthi
menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata: Dari ‘Amru bin
Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’. Terkadang ia berkata: Dari
Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena
hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh Ibnu
‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53),
darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal.
Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur Marwan, ia berkata:
"Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah melihatnya tidur
setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur
setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah meriwayatkan hadits seperti itu
kepada kita..?" lalu ia (Marwan) membacakannya (hadits di atas). Maka
al-Laits menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku
hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari
jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari
‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari
‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari az-Zuhri, dari
‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang
pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits lainnya. Ia
perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis makanan), dan itu merupakan
hadits palsu. (Selesai dari perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di
kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar.
Pertama, hukumnya makruh
sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam kitab-kitab fikih mereka.
Sebagian yang lain berdalil dengan hadits dhaif di atas. Ada juga yang berdalil
dengan sebagian ucapan para salaf dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan
sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh. Sedangkan
Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan khawatir
orangnya akan terkena gangguan was-was. (Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah:
5/339)
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah
(3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil
keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur sesudah
'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan berbagai
penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat kecuali pada siang
hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di pagi hari dan di ujung
hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu
'anhuma pernah melihat anaknya tidur pagi, lalu beliau berkata kepadanya:
"Bangunlah, apakah kamu (senang) tidur pada saat dibagi rizki?". .
. dan sebagian ulama salaf berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah
‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia
mencela selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada'
al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik Ibnu
al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani al-Atsar
(1/99).
Pendapat kedua: Membolehkan tidur
sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah mubah, dan tidak ada hadits
shahih yang melarangnya. Padahal hukum syar'i itu diambil dari hadits-hadits
shahih, bukan dari hadits-hadits lemah apalagi hadits palsu yang didustakan
atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula
ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah
al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits bin
Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang mengingkari larangan
tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas, berkata:
"Saya sangat terpukau dengan
jawaban al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya
itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan
seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh
(ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka
membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu
adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh
diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!”
Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu)
dan keilmuan Khalaf (generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah
(26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari
orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah
'Ashar termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu
tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah 'Ashar tidak
shahih." Selesai nukilan.
Pendapat Rajih
Nampaknya pendapat kedua inilah yang
lebih rajih (kuat) karena hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang
menerangkan akan larangan itu tidak shahih. Sementara keterangan ulama salaf
yang melarangnya, maka itu dibawa kepada kemakruhan (tidak disuka/tidak
dianjurkan) ditinjau dari sisi kesehatan, bukan dari sisi syar'i. Yakni pada
zaman dahulu masyhur di kalangan bangsa Arab dan para tabib terdahulu, tidur
sesudah 'Ashar itu tidak sehat dan bisa membahayakan fisik, maka
mereka memakruhkan orang-orang tidur sesudah 'Ashar supaya badannya tidak
sakit, tanpa menyandarkan kepada sunnah atau tasyri'. Maka urusan ini
dikembalikan kepada dokter atau ahli kesehatan, jika benar-benar itu mengandung
bahaya dan keburukan maka seseorang tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang
membahayakan dirinya. Sementara syariat, pada dasarnya tidak melarang hal itu.
Wallahu Ta'ala a'lam.
[voa-islam.com]
Oleh: Badrul Tamam
Red : Fajar
0 komentar:
Posting Komentar