Setiap kali
menjelang dan tiba Bulan Dzulhijjah, perhatian umat Islam terpusat pada haji
dan qurban. Sebagai bagian dari syi’ar-syi’ar agama Allah yang dimuliakan.
Ibadah haji dan qurban merupakan dua peristiwa besar tahunan yang ditetapkan
Allah atas orang-orang yang beriman pada bulan-bulan ini.
Rangkaian
ibadah haji dilakukan di bulan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Sementara
Qurban pada bulan Dzulhijjah.
Terambil
dari bahasa arab yang berarti maksud atau tujuan, haji didefinisikan sebagai
Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan manasik (haji)
yang dituntunkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.
Kewajiban dan Pahala Haji
Secara
historis, Ibadah haji telah dikenal mulai zaman Nabi Ibrahim 'alaihis salam
bangsa-bangsa Arab jahiliyah. Sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad
shallallaahu 'alaihi wasallam, mereka menjadikan thawaf sebagai bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka, meskipun masih bercampur dengan
tradisi-tradisi pagan (penyembahan berhala).
Sejak
diwajibkannya atas ummat Islam pada tahun keenam Hijriyah sampai saat ini,
ibadah haji termasuk salah satu ritual keagamaan yang sangat populer di dalam
Islam. Setiap muslim yang benar keislamannya, pasti memimpikan dapat
menunaikannya dengan sebaik-baiknya. Pasalnya selain wajib, ibadah haji
menjanjikan pahala dan keutamaan yang luar biasa dan istimewa. Juga sebagai
bentuk ungkapan cinta dari hamba kepada Tuhannya.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Dan hanya karena Allah lah haji ke Baitullah itu diwajibkan bagi manusia
yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kafir maka
sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap seluruh alam semesta.” (QS. Ali ‘Imran: 97).
Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda;
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Agama Islam dibangun di atas lima perkara; bersyahadat bahwasanya tidak
ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan shaum di bulan
Ramadhan.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Tentang
pahala haji, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda;
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa berhaji karena Allah lalu tidak berbuat keji dan kefasikan
(dalam hajinya tersebut), niscaya dia pulang dari ibadah tersebut seperti di
hari ketika dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Antara satu umrah dengan umrah berikutnya merupakan penebus dosa-dosa
yang ada di antara keduanya, dan haji mabrur itu tidak ada balasan baginya
kecuali Al-Jannah (surga).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu
Umar radhiyallaahu 'anhuma dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda, “Orang yang berperang di jalan
Allah dan orang yang menunaikan ibadah haji serta umrah adalah delegasi Allah.
Allah memanggil mereka, lalu mereka memenuhi panggilan-Nya. Dan mereka memohon
kepada-Nya, maka Dia memenuhi permohonan mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Haji, Wajibnya Hanya Sekali
Ditinjau
dari perspektif pengamalannya, Qaidah Ushluiyah mengklasifikasikan amr
(perintah untuk melakukan) amal ibadah wajib di dalam Islam ke dalam dua
bentuk; Pertama, amr yang menuntut/wajib dilakukannya suatu amal secara
berulang-ulang seumur hidup. Dengan adanya qarinah (indikasi) yang menunjukan
adanya tuntutan untuk melakukannya. Termasuk dalam kategori ini misalkan;
Shalat fardhu.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang
yang ruku’.” (QS.
Al-Baqarah: 43)
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Maka dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa : 103)
Demikian
halnya dengan puasa Ramadhan, zakat dan lain-lain. Bila telah tiba masa dan
terpenuhi syarat wajibnya, maka amal-amal itu menjadi wajib untuk dikerjakan
secara sempurna.
Kedua, amr
(perintah) yang tidak mengharuskan dilakukannya suatu amal ibadah secara
berulang-ulang. Seperti: ibadah haji.
Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda; “Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan
kepada kalian ibadah haji!” Maka berdirilah Al-Aqra’ bin Habis seraya
mengatakan: “Apakah haji itu wajib ditunaikan setiap tahun wahai Rasulullah?”
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau aku katakan; ya,
niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahun, dan bila diwajibkan setiap tahun
niscaya kalian tidak akan menunaikannya, bahkan tidak akan mampu untuk
menunaikannya. Kewajiban haji itu hanya sekali (seumur hidup). Barangsiapa
menunaikannya lebih dari sekali, maka dia telah bertathawwu’ (melakukan
perbuatan sunnah).” (HR. Abu Dawud
dan An-Nasa’i).
Para ulama
telah berijma’ bahwa ibadah haji tidak wajib berulang kali. Diwajibkan hanya
sekali seumur hidup. Kecuali bila seseorang bernadzar, maka ia wajib memenuhi
nadzarnya itu. Sedangkan melakukan ibadah haji untuk yang kedua, ketiga dan
seterusnya hanya dihukumi sunnah, bukan lagi wajib. Bahkan Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam semasa hidupnya, melakukan haji hanya sekali
yaitu pada tahun kesepuluh hijriyah. Padahal haji, sebagaimana telah disebutkan
diatas, telah diwajibkan pada tahun keenam hijriyah.
Antara Haji Sunnah dan Amal yang Wajib
Kita patut
bersyukur, bahwa ghirah (semangat) kaum muslimin Indonesia dalam pemenuhan
kewajiban pelaksanaan ibadah haji sangat menggembirakan. Dari tahun ke tahun,
jumlah jamaah haji Indonesia selalu mengalami peningkatan signifikan. Pada
tahun 2009 total jamaah haji indonesia berjumlah 207 ribu orang. Dan kini di
2010, bertambah menjadi 211 ribu jamaah. Bahkan informasi terakhir Indonesia
diberi tambahan 10 ribu lagi sehingga jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah
Suci sebanyak 221.000 jamaah. Ditambah petugas sejumlah 3.500 orang, maka
jumlah total jamaah yang berangkat sebanyak 224.500 calon haji. (Sumber:
www.jurnalhaji.com)
Belum lagi
kalau kita lihat jamaah calon haji yang baru masuk daftar tunggu yang jumlahnya
boleh jadi lebih besar dari yang bisa diberangkatkan oleh Pemerintah Indonesia.
Untuk dapat
menunaikan ibadah haji, berbagai usaha dilakukan. Dari menyisihkan setiap rizki
yang Allah berikan, mengikuti program-program tabungan haji perbankan, hingga
tidak sedikit yang rela menjual rumah tempat tinggal yang dimilikinya dan
menukar dengan kediaman yang lebih sederhana. Sebuah usaha yang patut diberi
pujian.
Namun, di
sisi lain, ada hal yang patut disayangkan. Di saat banyak masyarakat di
sekelilingnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, tidak sedikit diantara para
jamaah haji itu yang menunaikan ibadah haji untuk yang ke sekian kalinya. Data
Badan Pusat Statistik RI, menyebutkan hingga Maret 2010, jumlahnya mencapai
angka 31,02 juta jiwa, atau 13,33 persen. Bukankah ibadah haji mendidik kita
untuk empati terhadap saudara seiman dengan warna kulit dan suku apa pun mereka
melalui pelaksanaan thawaf, sa’i, wuquf di Arafah, dan lain-lain secara berjama’ah?
Lalu, apa yang didapat dari menunaikan ibadah haji jika rasa ingin memberi pada
mereka yang faqir tak juga dimiliki?
Tidak ada
larangan bagi siapa saja yang hendak berhaji bahkan untuk yang ke 10 kalinya
sekalipun. Karena itu bernilai sunnah; jika dilaksanakan tetap mendatangkan
pahala. Tetapi, bila di sekitar orang yang hendak menunaikan haji untuk
kesekian kalinya itu ada yang sangat kekurangan, apa lagi kelaparan, masihkah
kita berketatapan hati untuk menunaikan niat kita? Berangkat haji dan meninggalkan
tetangga, handai taulan dalam rintihan-rintihan kelemahan?
Syari’at
telah menetapkan bahwa seorang mukmin adalah penolong bagi mukmin yang lainnya.
Syariat memerintahkan untuk saling tolong menolong, berbuat baik kepada
orang-orang miskin dan yang membutuhkan. Allah berfirman; “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71)
“Dan hendaklah kamu berbakti kepada Allah, dan jangan kamu sekutukan Dia
dengan sesuatu, dan hendaklah kamu berbuat baik dengan sungguh-sungguh kepada
ibu bapak, keluarga yang dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat, tetangga jauh, sahabat sejalan, ibnu sabil, apa-apa yang dimiliki oleh
tangan kanan kamu, sesungguhnya Allah itu tidak suka kepada orang yang sombong
dengan perbuatannya, sombong dengan perkataannya." (Qs. An-Nisa : 36)
“Maka berilah kepada keluarga yang dekat, dan orang miskin, dan ibnu
sabil akan haknya, yang demikian itu baik bagi orang-orang yang mengharap
keridlaan Allah." (Qs.
Ar-Rum : 26)
Bagi yang
tidak peduli dan tidak mau ambil pusing terhadap kebutuhan dan keperluan kaum
muslimin Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda; “Barangsiapa tidak peduli dengan urusan kaum
Muslimin, maka ia tidak termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR. Thabrani)
“Bukanlah dari kalangan orang yang beriman, apabila ia dalam keadaan
kenyang, sedangkan tetangganya dalam kelaparan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah
menjelaskan tentang sebab-sebab orang-orang dimasukan ke dalam neraka Saqar.
Allah berfirman; ”Apa yang menyebabkan
kamu masuk Neraka Saqar?” Mereka berkata; ”Dulu kami termasuk orang-orang yang
meninggalkan shalat. Dan Kami kikir, tidak memberi makan orang miskin dan tidak
memuliakan anak yatim.” (QS.Muddatstir
74 : 42-44)
Amal ibadah
di dalam Islam mengenal istilah muwazanah (prioritas). Tidak dibenarkan
mengamalkan yang sunnah, jika hal itu menyebabkan terbengkalainya sebuah
kewajiban. Dalam perspektif fiqh, tindakan tersebut termasuk perbuatan haram.
Karena pilihan mengerjakan yang sunnah telah menjadi wasilah bagi terlaksana
perbuatan haram; meninggalkan yang wajib. Oleh karena itu, bagi siapa saja
diantara kita yang berkeinginan melakukan ibadah haji bukan untuk yang pertama
kalinya, berfikirlah dulu. Renungkan kembali. Jangan sampai haji yang kita
kerjakan dengan biaya, waktu, tenaga yang tidak sedikit, termasuk kategori
mengutamakan yang sunnah di atas ibadah wajib. Yakinkah bahwa di sekitar kita
tidak ada lagi tetangga, juga kerabat dekat masih ada yang membutuhkan bantuan
karena faktor kemiskinan? Tidak adakah di antara tetangga dan handai taulan
yang kesulitan mendapat makan, minum dan pakaian? Jika ternyata ada, maka
mengurungkan niat pergi haji untuk yang kedua, ketiga atau bahkan yang keempat
kalinya itu adalah tindakan yang bijak.
Dengan
menginfakkan biaya yang telah disiapkan untuk ibadah haji kepada mereka. Untuk
memenuhi kebutuhannya dalam bertahan hidup. Insyaallah, wajah Allah kan anda
jumpai disana. Sementara pahala haji tetap anda terima. Wallahu a’lam.
[PurWD/voa-islam.com]
Kalau aku sih, mending bantuin tetangga dulu yang membutuhkan. Naik haji cukup sekali tapi berkah
BalasHapus