Alhamdulillah, segala
puji bagi Allah yang kepunyaan Allah-lah
timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yang diutus
sebagai rahmat bagi semesta alam, datang dengan syariat yang mudah,
memerintahkan agar mempermudah dan
jangan mempersulit. Semoga shalawat dan salam juga dilimpahkan kepada keluarga
dan para sahabatnya.
Polemik arah kiblat
menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Pasalnya, banyak masjid yang
dibangun beberapa tahun yang lalu dianggap arah kiblatnya tidak lagi tepat. Hal
itu, menurut sebagian peneliti, antara lain disebabkan arah kiblat bergeser
sesudah terjadinya beberapa gempa besar pada beberapa tahun lalu. Namun banyak
yang menyimpulkan, sebabnya pada saat pengukuran awal yang memang kurang
presisi, mengingat keterbatasan teknologi pengukuran saat itu.
Hadirnya alat-alat
pengukur dan penunjuk arah kiblat modern yang berbasis satelit seperti GPS dan
kompas digital semakin memudahkan umat Islam untuk lebih tepat menentukan arah
kiblat tempat shalat mereka. Namun terkadang realisasinya di masyarakat bisa
menimbulkan polemik jika tidak dilakukan dengan hati-hati.
Di beberapa masjid,
ditemukan arah karpet telah diubah untuk menyesuaikan arah kiblat secara tepat,
yakni dengan memiringkannya sedikit ke arah utara, sehingga beberapa bagian
dari masjid nganggur atau tidak terpakai. Namun, tidak sedikit juga didapatkan
masjid yang tetap pada arah lama (tidak memiringkan sedikit ke arah utara).
Mereka mencukupkan menghadap arah kiblat yang berada di arah barat (antara
utara dan selatan) dan meyakini shalatnya tetap sah.
Dari polemik ini, ada
beberapa orang yang meyakini bahwa shalat di masjid yang tidak mengubah arah
kiblatnya sedikit miring ke utara tidak sah, karena tidak memenuhi satu syarat
sahnya, yaitu menghadap kiblat. Ada juga orang yang apabila shalat di
masjid-masjid yang tidak mengubah arah karpetnya sedikti miring ke utara, ia
tidak mengikuti arah karpet, sehingga terlihat berbeda dengan jamaah pada
umumnya. Sebenarnya dalam menjawab polemik ini www.voa-islam.com sudah menghadirkan
tulisan, "Sikap Tepat Menyikapi Polemik Arah Kiblat" yang ditulis DR.
Ahmad Zain An-Najah, M.A (Doktor bidang Fiqih dari Universitas Al-Azhar –
Cairo, Mesir). Namun tidak ada salahnya kami juga hadirkan satu tulisan lagi
karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, berjudul "Polemik arah Kiblat yang
Tidak Tepat" supaya menjadi pencerah bagi umat dalam menyikapi polemik
ini. Harapannya, umat Islam bisa saling toleransi, menghargai dan menghormati
perbedaan ijtihad ini. Dan kami berharap hadirnya tulisan ini -sebagaimana yang
diinginkan penulis- mendatangkan manfaat dan dapat menyelesaikan polemik yang
ada.
Menghadap
Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat
Syarat sah shalat
yang harus dilakukan sebelum melaksanakannya di antaranya adalah menghadap
kiblat. (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi
Syuja’, hal. 52, Darul Fikri dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz,
hal. 82, Dar Ibnu Rojab)
Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu
ke arahnya.” (QS. Al
Baqarah: 144)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat (musi’ salatahu),
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika
engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah
ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912)
An Nawawi dalam Syarh
Muslim mengatakan, “Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak dan dari
hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib shalat dan
bukanlah sunnah.” Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan tentang
wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al
Fatihah.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 2/132)
Yang
Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat
Dalam Matan Al Ghoyat
wat Taqrib (kitab Fiqih Syafi’iyyah), Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan, “Ada
dua keadaan seseorang boleh tidak menghadap kiblat : [1] Ketika keadaan sangat
takut dan [2] Ketika shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar.”
Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika
kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan.” (QS. Al Baqarah [2] : 239). Yaitu jika seseorang tidak mampu shalat
dengan sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang
mudah bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan.
Ibnu Umar mengatakan,
فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
“Apabila
rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan
dengan menghadap kiblat atau pun tidak.”
Malik berkata (bahwa)
Nafi’ berkata,
لاَ أُرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَلِكَ إِلاَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم
“Aku
tidaklah menilai Abdullah bin Umar (yaitu Ibnu Umar, pen) mengatakan seperti
ini kecuali dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Bukhari no. 4535)
Ibnu Umar berkata,
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan
dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir
di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.”
(HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no.
1652) (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi
Syuja’, hal. 53 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82-83,
Dar Ibnu Rojab
Cara
Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung
Para ulama sepakat
bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya
menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap kea
rah lain.
Ibnu Qudamah Al
Maqdisiy dalam Al Mughni mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah,
wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya
perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan, ‘Jika melenceng sebagian
dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah’.” (Lihat Al Mughni, 2/272)
Para ulama sepakat
bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya
menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap kea
rah lain.
Lalu Bagaimanakah
Jika Kita Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung?
Jika melihat ka’bah
secara langsung, para ulama sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak
boleh melenceng. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti
kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri
(Indonesia)?
Dalam Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi
orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari
Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah
secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah menghadap ke
arahnya saja. (Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816)
Pendapat ulama
Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal
ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzanniy),
mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya
menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan
kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak
mesti persis).
Dalil dari pendapat
pertama ini adalah
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan
di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”
(QS. Al Baqarah: 144). Menurut
pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan
arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah
namun cukup menghadap arahnya.
Para ulama tersebut
juga berdalil dengan hadits,
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah
antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi). Tirmidzi
mengatakan hadits ini shohih. Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul
Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih). Jadi maksudnya, bagi
siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap
ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah
kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan
tidak mengapa melenceng atau tidak
persis ke arah ka’bah.
Sedangkan pendapat
lainnya mengatakan bahwa yang diwajibkan adalah menghadap ke arah ka’bah persis
dan tidak cukup menghadap ke arahnya saja. Jadi kalau arah ka’bah misalnya
adalah di arah barat dan bergeser 10 derajat ke utara, maka kita harus
menghadap ke arah tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syafi’iyah, Ibnul
Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul
Khottob dari Hanabilah.
Menurut pendapat
kedua ini, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud ayat:
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan
di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.”
(QS. Al Baqarah: 144), yang
dimaksudkan dalam ayat ini adalah ka’bah. Jadi seseorang harus menghadap ke
ka’bah persis. Dan tafsiran mereka ini dikuatkan dengan hadits muttafaqun
‘alaih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua
raka’at di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,
هَذِهِ الْقِبْلَةُ
“Inilah
arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no. 1330). Karena dalam hadits ini,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini
menunjukkan pembatasan, sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka
dari itu, menurut pendapat kedua ini mereka katakan bahwa yang dimaksud dengan
surat Al Baqarah di atas adalah perintah menghadap persis ke arah ka’bah.
Bahkan menurut ulama-ulama tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah
kiblat berarti adalah menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan
kaedah bahasa Arab. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/1119 dan Nailul
Author, 3/253)
Jadi, intinya jika
seseorang tidak melihat Ka’bah secara langsung, di sini ada perselisihan
pendapat di antara ulama. Padahal jika kita lihat dalil masing-masing kubu
adalah sama. Namun, pemahamannya saja yang berbeda karena berargumen dengan
hadits yang mereka pegang.
Pendapat
yang Lebih Kuat
Dari dua pendapat di
atas, kami lebih cenderung pada pendapat pertama yaitu pendapat jumhur
(mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa bagi yang tidak melihat ka’bah secara
langsung, maka cukup bagi mereka untuk menghadap arahnya saja. Jadi kalau di
negeri kita, cukup menghadap arah di antara utara dan selatan. Sedangkan
pendapat kedua yang dipilih oleh Syafi’iyah, sebenarnya hadits yang mereka
gunakan adalah hadits yang bisa dikompromikan dengan hadits yang digunakan oleh
kelompok pertama. Yaitu maksudnya,
hadits yang digunakan pendapat kedua adalah untuk orang yang melihat
ka’bah secara langsung sehingga dia harus menghadap persis ke ka’bah.
Sehingga dapat kita
katakan:
Jika kita melihat
ka’bah secara langsung, maka kita punya kewajiban untuk menghadap ke arah
ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
Namun jika kita
berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja, yaitu di
negeri kita adalah arah antara utara dan selatan.
Sekarang masalahnya,
apakah boleh kita –yang berada di Indonesia- menghadap ke barat lalu bergeser
sedikit ke arah utara? Jawabannya, selama itu tidak menyusahkan diri, maka itu
tidak mengapa. Karena arah tadi juga arah kiblat. Bahkan kami katakan agar
terlepas dari perselisihan ulama, cara tersebut mungkin lebih baik selama kita
mampu melakukannya dan tidak menyusah-nyusahkan diri.
Namun jika merasa
kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk
dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi masjid malah menjadi sempit, maka
selama itu masih antara arah utara dan selatan, maka posisi kiblat tersebut
dianggap sah. Akan tetapi, jika mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti
pada masjid yang baru dibangun atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama
itu tidak ada kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya
agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar
kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal
dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu
berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah
ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara
kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa
waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39. Lihat penjelasan hadits ini di Fathul Bari)
Namun jika merasa
kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk
dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi masjid malah menjadi sempit, maka
selama itu masih antara arah utara dan selatan, maka posisi kiblat tersebut
dianggap sah.
Jika ada yang
mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah kiblat walaupun dengan
penuh kesulitan.” Maka cukup kami kemukakan perkataan Ash Shon’aniy,
“Ada
yang mengatakan bahwa kami akan pas-pasin arah kiblat persis ke ka’bah. Maka
kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada
dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Jadi yang benar,
kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan
sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).”
(Subulus Salam, 1/463)
Jadi intinya, jika
memang penuh kesulitan untuk mengepas-ngepasin arah kiblat agar persis ke
Ka’bah maka janganlah menyusahkan diri. Namun, jika memang memiliki kemudahan,
ya monggo silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu kalian.
Demikian penjelasan
singkat mengenai arah kiblat. Semoga kajian yang singkat ini bermanfaat bagi
kaum muslimin sekalian dan semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat
agar dapat menerangi jalan hidup kita. Wallahu a’lam bish showab.
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku
tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.”
(QS. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. (Sumber: www.rumaysho.com)
0 komentar:
Posting Komentar