Alhamdulillah
segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,
keluarga dan para sahabatnya.
Ketika
seseorang memasuki masjid, janganlah ia duduk sehingga melaksanakan shalat dua
rakaat yang disebut dengan tahiyatul masjid. Dari Abu Qatadah radhiyallahu
'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
“Jika salah seorang kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum
mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tujuan dari
pelaksanaan shalat dua rakaat ini adalah untuk menghormati masjid. Karena
masjid memiliki kehormatan dan kedudukan mulia yang harus dijaga oleh orang
yang memasukinya. Yaitu dengan tidak duduk sehingga melaksanakan shalat
tahiyatul masjid ini. Karena pentingnya shalat ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tetap memerintahkan seorang
sahabatnya - Sulaik al-Ghaathafani - yang langsung duduk shalat memasuki masjid
untuk mendengarkan khutbah dari lisannya. Ya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
tidak membiarkannya duduk walaupun untuk mendengarkan khutbah dari lisannya,
maka selayaknya kita memperhatikan shalat ini.
Begitu juga Jabir radhiyallahu 'anhu, saat ia
datang ke masjid untuk mengambil harga untanya yang dijualnya kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau memerintahkannya untuk shalat dua
rakaat. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hibban
dalam Shahihnya, dari hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dia pernah masuk
masjid, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya padanya, “Apakah kamu
sudah shalat dua rakaat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangunlah,
laksanakan dua rakaat!”
Maka
berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, seluruh ulama sepakat tentang
disyariatkannya shalat tahiyatul masjid (Fathul Baari: 2/407). Bahkan
sebagiannya -khususnya dari madzhab Dzahiriyah- berpendapat wajib dengan
berpatokan pada dzahir hadits. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sunnah,
berdasarkan beberapa hadits lain yang memalingkannya kepada anjuran. Di
antaranya, hadits tentang shalat lima waktu, maka ada seorang laki-laki
bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Apakah aku punya kewajiban selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali
bila engkau mengerjakan yang sunnah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Pengarang
Shahih Fiqih Sunnah menguatkan pendapat jumhur dengan menyebutkan hadits Waqid
al-Laitsi, “Bahwasanya tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallamshallallahu 'alaihi wasallam, dan yang satunya pergi. Kemudian keduanya
berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun salah seorang
dari keduanya melihat celah di majlis itu, maka ia duduk di tempat yang kosong
itu. Sedangkan yang lainnya duduk di belakang mereka. Adapun yang ketiga
langsung pergi. sedang duduk di dalam masjid bersama jama’ah, tiba-tiba
datanglah tiga orang.
Dua orang
mendatangi Rasulullah
Setelah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai dari majlisnya, beliau
bersabda:
“Maukah aku kabarkan tentang
tiga orang tadi? Adapun seorang dari mereka, ia datang menemui Allah maka Allah
datang menemuinya. Adapun yang seorang tadi, ia malu maka Allah malu kepadanya.
Adapun yang seorang lagi, ia berpaling maka Allah berpaling darinya”.” (Al-Bukhari)
Menurut
Syaikh Abu Malik Kamal, kedua orang tersebut langsung duduk dan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tidak memerintahkannya untuk shalat dua rakaat.
Wallahu a’lam.
Seluruh
ulama sepakat tentang disyariatkannya shalat tahiyatul masjid (Fathul Baari:
2/407).
Bahkan
sebagiannya -khususnya dari madzhab Dzahiriyah- berpendapat wajib dengan
berpatokan pada dzahir hadits.
Sedangkan
jumhur ulama berpendapat sunnah, berdasarkan beberapa hadits lain yang
memalingkannya kepada anjuran.
Siapa yang dikecualikan dari perintah ini?
Ada beberapa orang yang dikecualikan dari perintah
shalat tahiyatul masjid, yaitu:
1.
Khatib Jum’at, apabila dia masuk masjid untuk
khutbah Jum’at, tidak disunnahkan shalat dua rakaat. Tapi dia langsung berdiri
di atas mimbar, mengucapkan salam lalu duduk untuk mendengarkan adzan, kemudian
baru menyampaikan khutbah.
2.
Pengurus masjid yang berulang-kali keluar masuk
masjid. Kalau ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid setiap masuk masjid, maka
sangat memberatkan baginya.
3.
Orang yang memasuki masjid saat imam sudah mulai
memimpin shalat berjama’ah atau saat iqamah dikumandangkan, maka ia bergabung
bersama imam melaksanakan shalat berjama’ah. Karena shalat fardhu telah
mencukupi dari melaksanakan tahiyatul masjid. (Lihat Subulus Salam, Imam
al-Shan’ani: 1/320)
Sebagian
ulama lainnya, tetap menganjurkan untuk melaksakan tahiyatul masjid setiap
memasuki masjid, walau dia bolak-balik masuk masjid. Di antara ulama yang
berpendapat seperti ini adalah Imam al-Nawawi, Ibnu Taimiyah, dan dzahir dari
pendapat madzhab Hambali. (Lihat: al-Majmu’: 4/320)
Imam
Syaukani dalam Naulil Authar (3/70) berpendapat bahwa tahiyatul masjid tetap
disyariatkan setiap kali masuk masjid walaupun berulang kali masuk masjid
berdasarkan dzahir hadits. Wallahu a’lam.
Hikmah Tahiyatul Masjid
Melaksanakan
tahiyatul masjid merupakan bentuk pemuliaan terhadap masjid sebagai baitullah
(rumah Allah). Kedudukannya seperti mengucapkan salam saat memasuki rumah atau
seperti mengucapkan salam saat bertemu saudara seiman.
Imam Nawawi rahimahullaah berkata, “Sebagian
mereka (ulama) mengungkapkannya dengan Tahiyyah Rabbil Masjid (menghormati Rabb
-Tuhan yang disembah dalam- masjid), karena maksud dari shalat tersebut sebagai
kegiatan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, bukan kepada masjidnya,
karena orang yang memasuki rumah raja, ia akan menghormat kepada raja bukan
kepada rumahnya.” (Lihat: Hasyiyah Ibnu Qasim: 2/252)
Shalat dua rakaat saat memasuki masjid
berarti menghormati dan mengagungkan Rabb yang disembah di dalamnya.
Di Akhri Zaman Tahiyatul Masjid Diremehkan
Syaikh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil dalam kitabnya Asyratus Sa’ah menyebutkan
bahwa salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya sikap meremehkan
sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Salah satunya adalah tidak melaksanakan tahiyatul masjid saat
memasukinya, sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah hadits, dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku Mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ فِي الْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah seseorang
melalui (masuk) masjid, namun tidak melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam
Shahihnya. Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini dalam Silsilah al-Ahadits al
Shahihah: 2/253 no. 649 dengan memberikan catatan kaki di bawahnya bahwa dalam
sanadnya ada yang dhaif, tapi ia memiliki jalur lain dari Ibnu Mas’ud yang
memperkuat sanadnya).
Dan dalam
riwayat lain disebutkan;
أَنْ يَجْتَازَ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ فَلَا يُصَلِّي فِيْهِ
“Orang melalui masjid tapi tidak melakukan shalat di dalamnya.” (HR. Al-Bazzar dan dishahihkan
oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid: 7/329)
Dan dari
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُتَّخَذَ المَسَاجِدُ طُرُقًا
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah masjid
dijadikan sebagai jalan (tempat berlalu lalang).” (HR. Musnad al-Thayalisi dan
Al-Mustadrak al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasankan redaksi serupa dalam Shahih
Al-Jami’ no. 5899)
Bahkan
secara jelas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang menjadikan masjid
sebagai tempat lalu lalang tanpa ditegakkan shalat tahiyatul masjid ketika
memasukinya.
لَا تَتَّخِذُوا المَسَاجِدَ طُرُقًا ، إِلَّا لِذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ
“Janganlah kalian jadikan masjid sebagai jalan (tempat lewat), kecuali
untuk berdzikir atau shalat.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir: 12/314
dan al-Ausath: 1/14. Syaikh Al-Albani rahimahullaah mengatakan, “Sanad ini
hasan, seluruh rijalnya (perawinya) tsiqat (terpercaya).” Lihat: Silsilah Shahihah no.
1001)
Sedangkan
maksud menjadikan masjid sebagai jalan adalah dengan menjadikannya sebagai
tempat lewat atau berlalunya manusia untuk memenuhi hajat mereka. Masuk dari
satu pintu masjid dan keluar dari pintu lainnya tanpa melaksanakan shalat di
dalamnya. Sedangkan orang yang masuk masjid dan shalat di dalamnya tidak
dikategorikan sebagai orang yang menjadikan masjid sebagai tempat lalu lalang
yang dilarang.
Al-Hasan
al-Bashri ternah ditanya, “Tidakkah Anda benci kalau ada seseorang lewat di
dalam masjid lalu tidak shalat di dalamnya? Beliau menjawab, “Pasti (saya
benci).” (Lihat al-Mushannaf milik Abdul Razaq: 3/154-158)
. . . salah satu tanda dekatnya hari
kiamat adalah munculnya sikap meremehkan sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam
dan Syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Salah satunya adalah tidak melaksanakan
tahiyatul masjid saat memasukinya,
Di Mana Letak Keburukannya?
Orang yang
sengaja meninggalkan tahiyatul masjid saat memasukinya tanpa ada udzur telah
melakukan tindakan yang tidak sesuai sunnah dan tidak mengagungkan syi’ar Allah
(segala sesuatu yang dijadikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah). Padahal
yang demikian itu merupakan tanda iman dan takwa sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, sesungguhnya itu
timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Kalau
begitu tradisi dan budaya yang sedang menggejala di tengah-tengah umat,
menjadikan masjid sebagai tempat melangsungkan akad nikah dan resepsi tanpa
menghormati dan menjaga adab-adab masjid termasuk bagian yang dilarang. Para
hadirin masuk tanpa melakukan tahiyatul masjid, membiarkan maksiat di dalamnya
berupa ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam masjid), wanita
yang berdandan ala jahiliyah, nyanyian-nyanyian dan sebagainya.
Dan bencana
yang lebih besar lagi adalah dijadikannya masjid sebagai tempat rekreasi dan
bersenang-senang bagi orang-orang kafir setelah sebelumnya menjadi tempat untuk
berdzikir dan beribadah sebagaimana kebanyakan masjid yang berada di
Negara-negara yang berada di bawah kekuasaan kafir.
Penutup
Kiranya
kita sebagai umat Islam yang mengetahui keagungan masjid senantiasa menjaga
adab-adabnya dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah di dalamnya dengan senantiasa
menjaga dua rakaat tahiyatul masjid saat memasukinya dan tidak membuat tindakan
yang menciderai kehormatan dan kemuliaan masjid dengan melakukan kemaksiatan
dan pelangaran di dalamnya. Wallau Ta’ala a’lam.
Oleh:
Badrul Tamam
(PurWD/voa-islam)
Red : Fajar
Terimakasih telah mengingatkan hal yang sering di remehkan tapi sangat bermanfaat bagi umat
BalasHapus