Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Air mata mengalir
dari jiwa yang merintih. Nurani tercabik, terkoyak tersayat pedih, menyaksikan
keadaan umat yang seakan kehilangan kesadaran perjuangan untuk meneruskan
warisan suci ini—risalatul nabawiyyah yang mengibarkan panji–panji cinta
rahmatan lil alamin. Umat bagaikan berada di negeri yang asing.
Semangat berjamaah,
dimaksudkan untuk mengutamakan cinta kasih penuh persaudaraan di tengah-tengah
perbedaan. Tanpa semangat itu, demokrasi akan menjadi anarki, dan mazhab
menjadi tuhan. Orang-orang kuat akan menjadi serigala yang siap memangsa orang
lemah dan dilemahkan.
Naiklah ke
puncak-puncak peradaban masa lalu. Ambil dan reguklah hikmahnya, niscaya akan
kita dapati betapa jauhnya kita dari jalan nubuwwah (kenabian). Kita adalah umat
raksasa yang berjalan dalam kegelapan kehilangan pemandunya.
Umat kehilangan
tangan dan tak mampu lagi mengubah peradaban manusia. Bahkan kehilangan
keberanian untuk menampakkan kemuliaan akhlak. Karena masing-masing diantara
kita telah memadamkan pelita jiwa persaudaraan, membuang semen perekat yang
akan merakit bangunan kemuliaan akhlak.
Saat ini, umat Islam
bagaikan terlena dalam gemuruh ornamental atau hiasan duniawi yang diimpor dari
pusat-pusat pergerakan non-Muslim. Sumber daya alam yang melimpah telah
digadaikan. Karena kebodohan dan etos kerja yang lemah. Jiwa kita dirasuki
khayalan-khayalan yang menjerumuskan pada kenikmatan yang sesaat.
Persis seperti yang
diuntai sebuah peribahasa. “Naharuka ya maghrus sahwun wa ghoflatun wa lailuka
naumun warroda laka lazim.” (Siang hari kamu lupa bekerja dan lalai, wahai
orang yang tertipu. Sedangkan malam hari kamu lelap tertidur merenda mimpi
merajut khayal—sungguh celaka tak terelakkan).
Perutmu kenyang,
sedangkan tepat di sekitar rumah istanamu ada sepenggal hati yang merintih
kelaparan. Bibirmu bergetar menghapalkan ayat dan nilai persaudaraan, padahal
jiwamu penuh dengan egoisme dan permusuhan.
Kalau saja umat Islam
terjaga dari tidurnya, niscaya mereka memahami makna akidah sebagai
keberpihakan penuh (kaffah). Mulai dari niat, bersikap dan bersiasat haruslah
berpihak pada Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
" Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka
Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."
(QS. Ali Imran: 103).
Qum fa andzir,
bangunlah dari mimpimu! Berhentilah berkeluh kesah mencaci maki kegelapan.
Lebih baik engkau menyalakan pelita yang mungkin berguna bagi mereka yang
mencari pengharapan. Tebarkan iman dengan cinta, ubahlah dunia dengan prestasi.
Jadikan hidupmu penuh arti. Dan bila sudah punya arti, bolehlah bersiap untuk
mati. Dan bila datang hari perjumpaan, basahkan bibirmu mengucap puji Ilahi
Rabbi; Laa ilaha illallah!
0 komentar:
Posting Komentar