Alhamdulillah. Kita
panjatkan segala puji pada Allah dan kita meminta pertolonganNya. Seraya
memohon ampun dan meminta perlindunganNya dari segala keburukan jiwa dan dari
kejelekan amaliah. Barangsiapa yang telah Allah tunjukkan jalan baginya, maka
tiada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang telah Allah sesatkan
jalannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Ya Allah limpahkanlah
salawat dan salam bagi Muhammad saw berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya,
semuanya.
Ada sebuah kisah
mengenai seseorang yang dagangannya bebas dari jimat penglaris, tapi –masya
Allah- tetap laris. Ia menceritakan:
Kami tertawa, saat
sahabat saya menceritakan bahwa ketika dia di pasar tuk membeli beberapa bahan
baku buat mie xxx, ada pedagang yang bertanya tentang apa sih jimat penglarisan
mie xxx sehingga laris terus dan cepat sekali maju usahanya. Pedagang tersebut
percaya kalau usaha bisa laris kalau jimat penglarisannya itu bagus. Hehe,
mungkin memang jimat penglarisan dia gak manjur makanya bertanya pada sahabat
saya, kali aja ada bocoran. Terang saja sahabat saya pun tersenyum. Karena kami
memang tak mengenal jimat penglarisan. Jangankan jimat penglarisan, nepok-nepok
dagangan pakai uang penghasilan pertama terus bilang “penglaris, penglaris” aja
tidak, apalagi beneran pakai jimat. (Sumber)
Itulah keyakinan
sebagian masyarakat kita yang masih awam dan masih menganut tradisi dahulu,
tanpa berpikir logis. Ada yang sangka bahwa dagangan hanyalah bisa laris dengan
jimat penglaris. Anggapan semacam ini seakan-akan mematahkan prinsip pemasaran
yang sudah diajarkan para ekonom. Masa’ dengan penglaris saja bisa meningkatkan
pemasaran? Kadanggak masuk di logika. Sama dengan orang yang menyatakan tumbal
kepala kerbau tidak akan membuat jembatan ambruk lagi.Mana nyambungnya?
Datangnya
Keberkahan
Barokah atau
keberkahan dalam Al Qur’an dan As Sunnah bermakna langgengnya kebaikan, kadang
pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya. Dan
perlu dipahami bahwa segala kebaikan itu datang dari Allah, bukan dari makhluk
yang tidak memiliki apa-apa. Allah Ta’ala berfirman,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26). Yang dimaksud ayat
“di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas
kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas
kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian
penjelasan dari Ath Thobari rahimahullah sebagaimana dalam Jaami’ul Bayan ‘an
Ta’wili Ayil Qur’an (6: 301).
Dalam sebuah do’a
istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ
“Seluruh
kebaikan di tangan-Mu.” (HR. Muslim no.
771)
Begitu juga dalam
beberapa ayat lainnya disebutkan bahwa nikmat (yang merupakan bagian dari
kebaikan) itu juga berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan
apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ
“Sesungguhnya
karunia itu di tangan Allah” (QS. Ali
Imron: 73).
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan
jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).
Setelah kita mengerti
dengan penjelasan di atas, maka untuk meraih barokah sudah dijelaskan oleh
syari’at Islam yang mulia ini. Sehingga jika seseorang mencari berkah namun di
luar apa yang telah dituntunkan oleh Islam, maka ia berarti telah menempuh
jalan yang keliru. Karena ingatlah sekali lagi bahwa datangnya barokah atau
kebaikan hanyalah dari Allah. Termasuk dalam hal ini menggapai barokahnya rizki
dan larisnya dagangan, mesti dengan meniti jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena itulah jalan yang Allah tunjuki.
Coba kita perhatikan
di antara contohnya adalah meraih berkah ketika berdagang yaitu dengan modal
jujur. Ketika ada ‘aibpada barang dagangan, lalu kita terang-terangan
menjelaskan pada pembeli, itulah di antara sebab datang barokah.
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar
(membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika
keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam
jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual
beli antara keduanya akan hilang” (HR.
Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).
Ketika seseorang
mencari harta dengan tidak diliputi rasa tamak atau dengan sifat qona’ah (penuh
rasa cukup_, maka keberkahan pun akan mudah datang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam,
يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang
mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka
harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk
keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan
namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di
bawah” (HR. Bukhari no. 1472).
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah
dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan
keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak
mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.” (Syarh Ibni Batthol, 6: 48)
Namun modal utama
untuk meraih berkah dari hal-hal yang dicontohkan di atas adalah dengan sifat
takwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS.
Al A’rof: 96). Maka perbanyaklah ketaatan dan perbaiki ketakwaan, maka
keberkahan akan mudah turun di tengah-tengah kita.
Jimat
Penglaris Menjauhkan dari Berkah
Jika ketaatan dan
ketakwaan adalah jalan mudah meraih berkah, sebaliknya segala macam maksiat
menjauhkan dari berkah.
Ibnul Qayyim
rahimahullah yang ma’ruf dengan kalimat-kalimat penyejuk hati berkata, “Di
antara akibat dari berbuat maksiat adalah hilangnya nikmat dan datangnya
bencana. Tidaklah suatu nikmat itu hilang melainkan karena dosa, begitu pula
halnya suatu bencana datang juga karena dosa. Dan mengangkat musibah tersebut
hanyalah dengan taubat. Sebagaimana kata ‘Ali bin Abi Tholib, “Tidaklah musibah
itu turun melainkan karena dosa. Musibah itu bisa terangkat hanyalah dengan
taubat.” (Ad Daa’ wad Dawaa’, 113)
Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka
adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian
besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS.
Asy Syura: 30).
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“(Siksaan)
yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga
kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri”
(QS. Al Anfal: 53).
Demikianlah dengan
jimat penglaris yang termasuk syirik akan menjauhkan dari berkah. Bukti bahwa
jimat penglaris adalah kesyirikan dan syirik termasuk maksiat terbesar dapat
dilihat pada hadits berikut ini.
Dari ‘Uqbah bin
‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada
tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa
yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata
hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan”
(HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits inihasan
–dilihat dari jalur lain-).
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah
(jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahihsebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah
no. 492).
Jika dikatakan bahwa
orang yang memakai tamimah atau jimat tidak akan dibantu dalam urusan, maka ini
menunjukkan bahwa keberkahan tidak akan menghampirinya. Dan sudah sangat jelas
bahwa memakai atau menggantungkan jimat termasuk dalam kategori syirik. Karena
pemakai jimat sangat bergantung pada jimat tersebut, padahal jimat penglaris
hanyalah sebab yang mengada-ada, secara ilmiah tidak terbukti sebagai penglaris.
Barangkali cuma karena sugesti atau hanya sekedar bukti sekali dua kali,
dagangannya bisa laris. Namun belum tentu terbukti laris bagi yang lain. Bahkan
yang tidak memakai jimat penglaris, malah lebih laris. Ketergantungan hati pada
jimat-jimat yang serba aneh ini yang dinilai syirik. Di sini para ulama
memberikan rincian sebagai berikut:
1. Jika yakin bahwa tamimah atau jimat
bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (mudhorot), maka ini termasuk
syirik akbar. Karena yang mendatangkan manfaat dan bisa menolak bahaya hanyalah
Allah, bukanlah jimat.
2. Jika yakin bahwa jimat hanyalah sebagai
sebab atau sarana untuk penyembuhan –misalnya-, namun yang sebenarnya
menyembuhkan adalah Allah, maka ini termasuk syirik ashgor. Demikianlah
keyakinan kebanyakan orang yang memakai jimat pada umumnya. Hal ini tetap
dinilai syirik karena adanya ketergantungan hati pada jimat, bukan pada Allah
dan jimat sendiri tidak terbukti ampuh secara syar’i maupun empiris.
Tawakkal,
Itu Kunci Sukses
Barangsiapa yang
menjadikan hatinya bergantung pada Allah, itulah yang membuat urusannya mudah.
Bukan bergantung pada jimat yang katanya bisa memudahkan urusan dan melariskan
dagangan. Namanya tawakkal memang dengan memenuhi dua rukun, yaitu melakukan
sebab dan bergantungnya hati pada Allah. Namun sebab yang dimaksudkan di sini
adalah sebab yang dibolehkan, bukan sembarang sebab dan mengada-ada.
Dalam hadits
‘Abdullah bin ‘Ukaim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa menggantung hati pada sesuatu, urusannya akan diserahkan
padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072 dan Ahmad 4: 310. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan). Barangsiapa menggantungkan hatinya pada
jimat, maka Allah akan menyerahkan urusan orang tersebut pada benda-benda tadi
dan Allah akan menghinakannya. Beda halnya jika Allah yang dijadikan tempat
bergantung. Jika seseorang bergantung pada Allah, maka urusannya akan
diselesaikan oleh Allah, yang sulit akan menjadi mudah, dan yang jauh akan
didekatkan. Jika Allah yang menjadi sandaran, maka sebagaimana disebutkan dalam
ayat,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).
Yakin
Allah Pemberi Rizki
Kita sudah sangat
yakin bahwa Allah-lah pemberi rizki sebagaimana firman-Nya,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan
dari bumi?" Katakanlah: "Allah.” (QS. Saba’: 24)
Selain Allah sama
sekali tidak dapat memberi rizki. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ شَيْئًا وَلَا يَسْتَطِيعُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu
yang tidak dapat memberikan rizki kepada mereka sedikitpun dari langit dan
bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun).” (QS. An Nahl: 73)
Namun perlu dipahami
bahwa Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian rizki. Ada yang Allah
jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula yang dijadikan miskin.
Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari
sebagian yang lain dalam hal rizki.” (QS.
An Nahl: 71)
Dalam ayat lain
disebutkan,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rizki
kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha
mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isro’: 30)
Dalam ayat kedua di
atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”.
Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha
Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.”
Sebelumnya beliaurahimahullah berkata, “Allah
menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu
semua ada hikmah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir, 8: 479)
Jika kita sudah
memahami hal rizki ini, maka tidak perlu lagi ada rasa cemburu sesama pedagang.
Yang namanya dagang, pasti ada yang amat laris dan ada yang biasa-biasa saja.
Itu semua ada hikmahnya. Karena barangkali jika Allah membuat semuanya laris,
nanti malah semakin sombong. Ingatlah, Allah tidaklah menakdirkan sesuatu
dengan sia-sia. Sehingga jika sudah dipahami, maka mengapa mesti ada yang pakai
jimat penglaris? Pemakaian jimat ini bisa jadi muncul karena rasa iri, tidak
memahami rizki makhluk yang berbeda-beda dan tidak mengetahui hikmah Allah
sehingga akhirnya syirik jimatlah yang diterjang.
Wallahu waliyyut
taufiq was sadaad.
0 komentar:
Posting Komentar