Alhamdulillah. Kita
panjatkan segala puji pada Allah dan kita meminta pertolonganNya. Seraya
memohon ampun dan meminta perlindunganNya dari segala keburukan jiwaku dan dari
kejelekan amaliah. Barangsiapa yang telah Allah tunjukkan jalan baginya, maka
tiada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang telah Allah sesatkan
jalannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Ya Allah limpahkanlah salawat
dan salam bagi Muhammad saw berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, semuanya.
Sungguh indah ikatan
suci antara dua orang insan yang pasrah untuk saling berjanji setia menemani
mengayuh biduk mengarungi lautan kehidupan. Dari ikatan suci ini dibangun
keluarga bahagia, yang dipimpin oleh seorang suami yang shalih dan dimotori
oleh seorang istri yang shalihah. Mereka mengerti hak-hak dan kewajiban mereka
terhadap pasangannya, dan mereka pun memahami hak dan kewajiban mereka kepada
Allah Ta’ala. Kemudian lahir dari mereka berdua anak-anak yang tumbuh dalam ketaatan
kepada Allah Azza Wa Jalla. Cinta dan kasih sayang pun tumbuh subur di
dalamnya. Rahmat dan berkah Allah pun terlimpah kepada mereka. Inilah keluarga
sakinah mawaddah wa rahmah, samara kata orang. Inilah model keluarga yang
diidamkan oleh setiap muslim tentunya.
Tidak diragukan lagi,
bahwa untuk menggapai taraf keluarga yang demikian setiap orang harus melewati
sebuah pintu, yaitu pernikahan. Dan usaha untuk meraih keluarga yang samara ini
hendaknya sudah dimulai saat merencanakan pernikahan. Pada tulisan singkat ini
akan sedikit dibahas beberapa kiat menuju pernikahan Islam yang diharapkan
menjadi awal dari sebuah keluarga yang samara.
Berbenah
Diri Untuk Mendapatkan Yang Terbaik
Penulis ingin
membicarakan 2 jenis manusia ketika ditanya: “Anda ingin menikah dengan orang shalih/shalihah atau tidak?”. Manusia
jenis pertama menjawab “Ya, tentu saja saya ingin”, dan inilah muslim yang
masih bersih fitrahnya. Ia tentu mendambakan seorang suami atau istri yang taat
kepada Allah, ia mendirikan shalat ia menjalankan perintah-perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Ia menginginkan sosok yang shalih atau
shalihah. Maka, jika orang termasuk manusia pertama ini agar ia mendapatkan
pasangan yang shalih atau shalihah, maka ia harus berusaha menjadi orang yang
shalih atau shalihah pula. Allah Azza Wa Jalla berfirman
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
artinya:
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang
keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk
laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula”
[QS. An Nur: 26].
Yaitu dengan berbenah
diri, berusaha untuk bertaubat dan meninggalkan segala kemaksiatan yang
dilakukannya kemudian menambah ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan manusia
jenis kedua menjawab: “Ah saya sih ndak mau yang alim-alim” atau semacam itu.
Inilah seorang muslim yang telah keluar dari fitrahnya yang bersih, karena
sudah terlalu dalam berkubang dalam kemaksiatan sehingga ia melupakan Allah
Ta’ala, melupakan kepastian akan datangnya hari akhir, melupakan kerasnya siksa
neraka. Yang ada di benaknya hanya kebahagiaan dunia semata dan enggan
menggapai kebahagiaan akhirat. Kita khawatir orang-orang semacam inilah yang
dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai orang yang enggan
masuk surga. Lho, masuk surga koq tidak mau? Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Setiap ummatku akan
masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya: ‘Siapakah yang enggan
itu wahai Rasulullah?’. Beliau bersabda: “Yang taat kepadaku akan masuk surga
dan yang ingkar terhadapku maka ia enggan masuk surga” [HR. Bukhari]
Seorang istri atau
suami adalah teman sejati dalam hidup dalam waktu yang sangat lama bahkan
mungkin seumur hidupnya. Musibah apa yang lebih besar daripada seorang insan
yang seumur hidup ditemani oleh orang yang gemar mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya? Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Keadaan agama seorang insan tergantung pada
keadaan agama teman dekatnya. Maka sudah sepatutnya kalian memperhatikan dengan
siapa kalian berteman dekat” [HR.
Ahmad, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani]
Bekali
Diri Dengan Ilmu
Ilmu adalah bekal
penting bagi seseorang yang ingin sukses dalam pernikahannya dan ingin
membangun keluarga Islami yang samara. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu
agama tentunya. Secara umum, seseorang perlu membekali diri dengan ilmu-ilmu
agama, minimal ilmu-ilmu agama yang wajib bagi setiap muslim. Seperti ilmu
tentang aqidah yang benar, tentang tauhid, ilmu tentang syirik, tentang wudhu,
tentang shalat, tentang puasa, dan ilmu yang lain, yang jika ilmu-ilmu wajib
ini belum dikuasai maka seseorang dikatakan belum benar keislamannya. Lebih
baik lagi jika membekali diri dengan ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits,
tafsir al Qur’an, Fiqih, Ushul Fiqh karena tidak diragukan lagi bahwa ilmu
adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Renungkanlah firman
Allah Ta’ala,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
artinya: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman
di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [QS. Al Mujadalah: 11]
Secara khusus, ilmu
yang penting untuk menjadi bekal adalah ilmu tentang pernikahan. Tata cara
pernikahan yang syar’I, syarat-syarat pernikahan, macam-macam mahram, sunnah-sunnah
dalam pernikahan, hal-hal yang perlu dihindari, dan yang lainnya.
Siapkan
Harta Dan Rencana
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pernikahan membutuhkan kemampuan harta. Minimal untuk dapat
memenuhi beberapa kewajiban yang menyertainya, seperti mahar, mengadakan
walimah dan kewajiban memberi nafkah kepada istri serta anak-anak. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Cukuplah
seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”
[HR. Ahmad, Abu Dawud].
Namun kebutuhan akan
harta ini jangan sampai dijadikan pokok utama sampai-sampai membuat seseorang
tertunda atau terhalang untuk menikah karena belum banyak harta. Harta yang
dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya itu sudah mencukupi. Karena
Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah
(mensyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul
harta. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba
khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika
tidak diberi ia marah” [HR. Bukhari].
Disamping itu,
terdapat larangan bermewah-mewah dalam mahar dan terdapat teladan
menyederhanakan walimah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pernikahan yang paling besar keberkahannya
ialah yang paling mudah maharnya” [HR.
Ahmad]. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga, berdasarkan hadits Anas
Bin Malik Radhiyallahu’anhu, ketika menikahi Zainab Bintu Jahsy mengadakan
walimah hanya dengan menyembelih seekor kambing [HR. Bukhari-Muslim].
Selain itu rumah
tangga bak sebuah organisasi, perlu manajemen yang baik agar dapat berjalan
lancar. Maka hendaknya bagi seseorang yang hendak menikah untuk membuat
perencanaan matang bagi rumah tangganya kelak. Misalnya berkaitan dengan tempat
tinggal, pekerjaan, dll.
Pilihlah
Dengan Baik
Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tiga
hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius
: nikah, cerai dan ruju’ ” (Diriwayatkan
oleh Al Arba’ah kecuali Nasa’i). Salah satunya dikarenakan menikah berarti
mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari
saja bahkan seumur hidup insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu
kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk
berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.
Kriteria yang paling
utama adalah agama yang baik. Setiap muslim atau muslimah yang ingin beruntung
dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami atau istri yang baik
agamanya, ia memahami aqidah Islam yang benar, ia menegakkan shalat, senantiasa
mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan memilih istri yang baik
agamanya “Wanita dikawini karena empat
hal : ……. hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau
tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [HR. Bukhari- Muslim]. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga
mengancam orang yang menolak lamaran dari seorang lelaki shalih “Jika datang kepada kalian lelaki yang baik
agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya,
niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah].
Selain itu ada
beberapa kriteria lainnya yang juga dapat menjadi pertimbangan untuk memilih
calon istri atau suami:
Sebaiknya ia berasal
dari keluarga yang baik nasabnya (bukan keluarga pezina atau ahli maksiat)
Sebaiknya ia sekufu.
Sekufu maksudnya tidak jauh berbeda kondisi agama, nasab dan kemerdekaan dan
kekayaannya
Gadis lebih
diutamakan dari pada janda
Subur (mampu
menghasilkan keturunan)
Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan
jika engkau pandang…” [HR. Thabrani]
Hendaknya calon istri
memahami wajibnya taat kepada suami dalam perkara yang ma’ruf
Hendaknya calon istri
adalah wanita yang menjaga auratnya dan menjaga dirinya dari lelaki non-mahram.
Shalat
Istikharah Agar Lebih Mantap
Pentingnya urusan
memilih calon pasangan, membuat seseorang layak untuk bersungguh-sungguh dalam
hal ini. Selain melakukan usaha, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala
usaha ada di tangan Allah Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan
doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Dan salah
satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah.
Sebagaimana hadits dari Jabir Radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau
mengajarkan Al Qur’an” [HR. Bukhari].
Datangi
Si Dia Untuk Nazhor Dan Khitbah
Setelah pilihan telah
dijatuhkan, maka langkah selanjutnya adalah Nazhor. Nazhor adalah memandang keadaan
fisik wanita yang hendak dilamar, agar keadaan fisik tersebut dapat menjadi
pertimbangan untuk melanjutkan melamar wanita tersebut atau tidak. Terdapat
banyak dalil bahwa Islam telah menetapkan adanya Nazhor bagi lelaki yang hendak
menikahi seorang wanita. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian meminang
wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka
lakukanlah” [HR. Abu Dawud].
Namun dalam nazhor
disyaratkan beberapa hal yaitu, dilarang dilakukan dengan berduaan namun
ditemani oleh mahrom dari sang wanita, kemudian dilarang melihat anggota tubuh
yang diharamkan, namun hanya memandang sebatas yang dibolehkan seperti wajah,
telapak tangan, atau tinggi badan.
Dalil-dalil tentang adanya
nazhor dalam Islam juga mengisyaratkan tentang terlarangnya pacaran dalam.
Karena jika calon pengantin sudah melakukan pacaran, tentu tidak ada manfaatnya
melakukan Nazhor.
Setelah bulat
keputusan maka hendaknya lelaki yang hendak menikah datang kepada wali dari
sang wanita untuk melakukan khitbah atau melamar. Islam tidak mendefinisikan
ritual atau acara khusus untuk melamar. Namun inti dari melamar adalah meminta
persetujuan wali dari sang wanita untuk menikahkan kedua calon pasangan. Karena
persetujuan wali dari calon wanita adalah kewajiban dan pernikahan tidak sah
tanpanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan
keberadaan wali” [HR. Tirmidzi]
Siapkan
Mahar
Hal lain yang perlu
dipersiapkan adalah mahar, atau disebut juga mas kawin. Mahar adalah pemberian
seorang suami kepada istri yang disebabkan pernikahan. Memberikan mahar dalam
pernikahan adalah suatu kewajiban sebagaimana firman Allah Ta’ala
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
“Maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban” [QS. An Nisa: 24]. Dan pada hakekatnya
mahar adalah ‘hadiah’ untuk sang istri dan mahar merupakan hak istri yang tidak
boleh diambil. Dan terdapat anjuran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
untuk tidak terlalu berlebihan dalam mahar, agar pernikahannya berkah.
Sebagaimana telah dibahas di atas.
Setelah itu semua
dijalani akhirnya sampailah di hari bahagia yang ditunggu-tunggu yaitu hari
pernikahan. Dan tali cinta antara dua insan pun diikat.
Belum
Sanggup Menikah?
Demikianlah uraian
singkat mengenai kiat-kiat bagi seseorang yang hendak menapaki tangga
pernikahan. Nah, lalu bagaimana kiat bagi yang sudah ingin menikah namun belum
dimampukan oleh Allah Ta’ala? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Orang-orang yang belum mampu menikah hendaknya menjaga kesucian diri
mereka sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya” [QS. An Nur: 33].
As Sa’di menjelaskan
ayat ini: “Yaitu menjaga diri dari yang
haram dan menempuh segala sebab yang dapat menjauhkan diri keharaman, yaitu
hal-hal yang dapat memalingkan gejolak hati terhadap hal yang haram berupa
angan-angan yang dapat dikhawatirkan dapat menjerumuskan dalam keharaman” [Tafsir As Sa’di].
Intinya, Allah Ta’ala
memerintahkan orang yang belum mampu untuk menikah untuk bersabar sampai ia
mampu kelak. Dan karena dorongan untuk menikah sudah bergejolak mereka
diperintahkan untuk menjaga diri agar gejolak tersebut tidak membawa mereka
untuk melakukan hal-hal yang diharamkan.
Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga menyarakan kepada orang yang belum mampu untuk
menikah untuk banyak berpuasa, karena puasa dapat menjadi tameng dari godaan
untuk bermaksiat [HR.
Bukhari-Muslim].
Selama masih belum mampu untuk menikah hendaknya ia
menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat. Karena jika ia lengah sejenak saja
dari hal yang bermanfaat, lubang kemaksiatan siap menjerumuskannya. Ibnul
Qayyim Al Jauziyah memiliki ucapan emas: “Jika
dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan
hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘An Ad Dawa Asy Syafi,
hal. 109). Kemudian senantiasa berdoa agar Allah memberikan kemampuan untuk
segera menikah.
0 komentar:
Posting Komentar