Al-Hamdulillah,
segala puji bagi Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam
semoga terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Ikhlas dalam segala
amalan, itulah yang diperintahkan kepada kita. Amalan yang tidak ikhlas, hanya
sekedar cari pujian adalah amalan yang sia-sia. Jarang yang terlepas dari sifat
gila pujian ini termasuk pula kita-kita ini. Padahal setiap ibadah haruslah ditujukan
pada Allah, bukan untuk manusia. Itulah tanda ikhlas.
Ikhlaslah
dan Jauhi Riya’ (Gila Pujian)
Beberapa ayat
menerangkan agar kita dapat menjadi orang yang ikhlas dalam ibadah. Di
antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus” (QS.
Al Bayyinah: 5).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda tentang bahaya riya’ (gila pujian) bahwasanya amalan
pelaku riya’ tidaklah dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada
sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan
selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya,
pen) dan perbuatan syiriknya” (HR.
Muslim no. 2985). Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak
ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan
mendapatkan dosa” (Syarh Shahih
Muslim, 18: 115).
Begitu pula
peringatan keras bagi orang yang cuma mengharap dunia dalam amalannya, di
antaranya adalah mengharap pujian manusia disebutkan dalam hadits berikut ini,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang menutut ilmu
yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia
mempelajarinya hanya untuk meraih tujuan duniawi, maka ia tidak akan pernah
mencium bau surga pada hari kiamat nanti” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu
Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Jangan
Gila Pujian
Ibnul Qayyim dalam Al
Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam
hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada
sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”
Seperti kita ketahui
bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan
saling membinasakan.Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan
menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.
Ada yang menanyakan
pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang
hamba disebut berbuat ikhlas?” “Jika keadaanya mirip dengan anak yang
menyusui. Cobalah lihat anak tersebut dia tidak lagi peduli jika ada yang
memuji atau mencelanya”, jawab Yahya.
Muhammad bin Syadzan
berkata, “Hati-hatilah ketamakan ingin
mencari kedudukan mulia di sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian
dari manusia”. Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan
selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.
Ada yang berkata pada
Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, “Kapan
seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?” “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan
ia tidak gila pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.
Coba pula lihat
perkataan Ibnu ‘Atho’ dalam hikam-nya. Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa
manusia biasa memujimu karena itulah yang mereka lihat secara lahir darimu.
Seharusnya engkau menjadikan dirimu itu cambuk dari pujian tersebut. Karena
ingatlah orang yang paling bodoh adalah yang dirinya itu yakin akan pujian
manusia padahal ia yakin akan kekurangan dirinya."
Lihatlah bagaimana
Ibnu Mas’ud, sahabat yang mulia, namun masih menganggap dirinya itu penuh ‘aib.
Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Jika kalian mengetahui ‘aibku, tentu tidak ada dua
orang dari kalian yang akan mengikutiku”
.
Seorang hamba yang
bertakwa tentu merasa dirinya biasa-biasa saja, penuh kekurangan, dan selalu
merasa yang lain lebih baik darinya. Jika memiliki sifat mulia seperti ini,
maka kita akan tidak gila pujian dan tidak sombong. Yang selalu diharap adalah
wajah Allah dan kenikmatan bertemu dengan-Nya. Mengapa kita masih memiliki
sifat untuk gila pujian dari manusia? Mengharap ridho Allah tentu lebih nikmat
dari segalanya.
Ya Allah, berilah
kami keikhlasan dalam setiap amalan kami. Wabillahit taufiq.
0 komentar:
Posting Komentar