Alhamdulillah. Kita
panjatkan segala puji pada Allah dan kita meminta pertolonganNya. Seraya
memohon ampun dan meminta perlindunganNya dari segala keburukan jiwaku dan dari
kejelekan amaliah. Barangsiapa yang telah Allah tunjukkan jalan baginya, maka
tiada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang telah Allah sesatkan
jalannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Ya Allah limpahkanlah salawat
dan salam bagi Muhammad saw berserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, semuanya.
Sebagian kita
memiliki sifat demikian, berkata dan mengajak orang lain dalam kebaikan, namun
diri sendiri enggan untuk melakukannya. Melarang dari suatu kemungkaran, namun
diri sendiri masih menerjangnya dan masih suka bermaksiat. Muslim yang baik
adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan yang terdepan dalam menjauhi
kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi lainnya.
Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS.
Ash Shaff: 2-3).
Syaikh ‘Abdurrahman
bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan,
Kenapa kalian berkata
kebaikan dan mengajak untuk berbuat baik, bahkan kalian terpuji dengan kebaikan
tersebut, namun kalian sendiri tidak melakoni. Kalian melarang dari kejelekan
dan menyucikan diri dari kejelekan tersebut, namun sebenarnya kalian sendiri
menerjang dan senyatanya memiliki sifat yang jelek.
Apakah
pantas orang beriman memiliki sifat yang tercela seperti ini?
Ataukah ia rela
mendapatkan kemurkaan yang besar di sisi Allah dengan ia mengatakan apa yang ia
sendiri tidak melakukannya?
Sudah sepatutnya bagi
orang yang mengajak pada kebaikan, maka hendaklah dia yang menjadi pelopor
pertama dalam melaksanakan kebaikan. Jika ia melarang suatu kemungkaran,
hendaklah ia yang lebih menjauhi kemungkaran tersebut.
Allah Ta’ala
berfirman (mengenai orang Yahudi),
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)?
Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS.
Al Baqarah: 44).
Syu’aib berkata
kepada kaumnya,
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan menerjang) apa yang
aku larang” (QS. Hud: 88).
Demikian keterangan dari Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, Taisir Al
Karimir Rahman, hal. 858.
Ibnu Juraij berkata
mengenai ayat,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan”, yaitu ahlul
kitab dan orang munafik dahulu memerintahkan orang pada kebaikan, menyuruh
puasa dan shalat, mereka mengajak orang lain untuk beramal, namun Allah mencela
mereka (karena mereka mengajak orang lain, namun diri sendiri enggan melakoni,
pen). Oleh karenanya, siapa saja yang mengajak orang lain dalam kebaikan,
hendaklah ia yang terdepan dalam kebaikan tersebut (artinya: ia hendaklah yang
melakukannya terlebih dahulu).” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 381).
Adh Dhohak berkata,
dari Ibnu ‘Abbas di mana beliau berkata menjelaskan surat Al Baqarah ayat 44.
Beliau berkata,
أتأمرون الناس بالدخول في دين محمد صلى الله عليه وسلم وغير ذلك مما أمرتم (3) به
من إقام الصلاة، وتنسون أنفسكم.
“Engkau memerintahkan manusia untuk masuk dalam agama Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajak pada kebaikan lainnya seperti
mengerjakan shalat, lantas engkau melupakan diri kalian sendiri?” (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 382).
Namun Syaikh As Sa’di
rahimahullah menerangkan mengenai surat Al Baqarah ayat 44 di atas, “Ayat tersebut tidaklah menerangkan bahwa
seseorang yang tidak dapat melaksanakan kebajikan, maka ia tidak boleh beramar
ma’ruf atau ia tidak boleh melarang kemungkaran yang masih ia terjang. Karena
jika ia tidak beramal dan tidak mengajak orang lain, maka ia tercela karena
meninggalkan dua kewajiban. Ketahuilah bahwa manusia memiliki dua kewajiban,
yaitu (1) mengajak orang lain pada kebaikan atau melarang dari kemungkaran, dan
(2) memerintahkan diri sendiri untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan
kemungkaran. Jika tidak bisa melakukan salah satunya, maka tidak boleh
meninggalkan yang lainnya. Dikatakan sempurna jika sudah melaksanakan dua
kewajiban tersebut (yaitu beramal dan berdakwah). Dan jika meninggalkan
dua-duanya, maka itu menunjukkan cacat yang sempurna. Sedangkan jika mampu
melaksanakan satu kewajiban, maka ia tidak berada di martabat yang utama, masih
di bawahnya” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 51).
Tentang masalah ini
pula pernah diterangkan oleh Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri hafizhohullah. Intinya
beliau menerangkan bahwa ia mengajak orang lain dalam hal yang wajib, namun ia
sendiri tidak melakukannya, maka ia tercela. Jika yang ditinggalkan adalah
amalan sunnah, maka ia tidaklah tercela. Karena meninggalkan yang sunnah tentu
saja tidak berakibat dosa (Dauroh Kitab Ushulus Sunah Imam Ahmad dan Kitabul
Fitan Shahih Al Bukhari, 1-5 Jumadal Ula 1433 H).
Intinya, sebaik-baik
kita adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan yang terdepan dalam
meninggalkan kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi yang lain. Ya Allah,
mudahkanlah kami dalam hal ini.
0 komentar:
Posting Komentar