Sabtu, 31 Maret 2012

Mencermati Kehalalan Flavour dalam Teh


ALFUTUH - Menyeruput teh pada pagi dan sore hari telah menjadi bagian hidup sebagian manusia di muka bumi. Teh dikonsumsi tak hanya sekedar sebagai minuman teman kudapan atau penghilang dahaga, teh juga diyakini berkhasiat bagi kesehatan tubuh.

Kebutuhan dan konsumsi teh masyarakat dunia tenyata cukup besar, khususnya di negara-negara maju. Di Inggris misalnya, tingkat konsumsi teh mencapai 2,5 kg per kapita per tahun. Di negara Muslim seperti Pakistan, konsumsi teh mencapai  1 kg per kapita, sedangkan di Indonesia hanya 0,2 per kapita.

Meski konsumsi teh di Tanah Air tak terlalu besar, Indonesia tercatat merupakan negara produsen teh nomor lima terbesar di dunia. Tahun lalu, industri teh memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar  Rp 1,2 triliun, dengan devisa 110 juta dolar.

Teh atau Camellia sinensis  banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Masing-masing wilayah biasanya memiliki jenis teh yang berbeda-beda, setelah melalui hasil persilangan. Selama ini, dikenal tiga jenis teh hasil olahan, yakni teh hijau, teh oolong serta teh hitam. Penelitian membuktikan teh mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan tubuh.

Misalnya karotin, tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), nicotinic acid, pantothenic acid, absorbic acid (vitamin C), vitamin B6, manganese, dan potasium. Itulah mengapa teh sangat berkhasiat.

Teh bisa memperkuat daya tahan tubuh, mencegah tekanan darah tinggi, mengoptimalkan metabolisme tubuh. Khasiat lainnya yakni menangkal kolesterol, memperkuat gigi, mengurangi resiko keracunan makanan, bahkan mencegah kanker.

Kini, produk teh yang tersedia di pasaran pun kian beragam. Di pasar swalayan hingga tradisional, teh dijual dengan aneka jenis citra dan rasa.  Sebagian di antaranya memiliki aroma yang khas. Aroma ini diperoleh dari menambahkan perisa (flavour). Nah, di sinilah titik kritis kehalalan produk teh itu.

Seperti dikutip dari situs halalguide.info, kekhawatiran terhadap perisa bisa terkait beberapa hal, yaitu pelarut yang digunakan semisal //etanol// dan gliserol, bahan dasar pembuatannya, serta asal bahan dasar yang digunakan.  Sebelumnya, bahan etanol tidak boleh lagi digunakan sebagai pelarut akhir komponen-komponen flavor. Dan sebagai gantinya, dapat menambahkan propilen glikol.

Bahan gliserol pun tidak boleh berasal dari hasil hidrolisis lemak hewani. Akan tetapi, sekarang telah ada gliserol yang merupakan hasil sintesis organik dengan menggunakan bahan dasar dari minyak bumi. Pendek kata, penambahan perisa tidak akan bermasalah aspek kehalalannya jika bahan yang digunakan adalah campuran dari bahan alami, semisal bunga melati (perisa nabati).

Lain halnya dengan perisa daging. Sebab pada prosesnya, diperlukan base yang dibuat dari hasil reaksi asam amino atau protein hidrolisat, gula dan kadang-kadang lemak atau turunannya. Pada saat formulasi, untuk flavor daging ayam misalnya, kerap diperlukan lemak ayam, sehingga harus jelas cara penyembelihan hewannya.

Beberapa bahan perisa juga berasal dari hewan bertaring. Misalnya, civet (dari kucing civet yang banyak hidup di pegunungan Himalaya, diambil dari kelenjar susunya pada saat hewan itu masih hidup), musk oil (dari sejenis musang hidup), dan castoreum (dari hewan berang-berang).

Memang, penggunaan bahan ini sudah jarang ditemukan dalam formulasi flavor. Akan tetapi dalam beberapa kasus, penggunaan flavor dari bahan hewani masih ditemukan pada flavor yang menggunakan formula lama.

Penggunaan fusel oil dan turunannya juga harus dicermati. Fusel oil didapat dari hasil samping industri pembuatan minuman beralkohol, khususnya distilled beverages, sebagai salah satu fraksi dalam distilasi hasil fermentasi alkohol.  Karena merupakan hasil samping minuman beralkohol (khamr), bahan tersebut dianjurkan untuk tidak digunakan oleh umat Islam.

(red : fajar)
Submer : voa-islam

0 komentar:

Posting Komentar