Kebutuhan dan konsumsi teh masyarakat dunia tenyata
cukup besar, khususnya di negara-negara maju. Di Inggris misalnya, tingkat
konsumsi teh mencapai 2,5 kg per kapita per tahun. Di negara Muslim seperti
Pakistan, konsumsi teh mencapai 1 kg per
kapita, sedangkan di Indonesia hanya 0,2 per kapita.
Meski konsumsi teh di Tanah Air tak terlalu besar,
Indonesia tercatat merupakan negara produsen teh nomor lima terbesar di dunia.
Tahun lalu, industri teh memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia sebesar Rp 1,2 triliun, dengan
devisa 110 juta dolar.
Teh atau Camellia sinensis banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis.
Masing-masing wilayah biasanya memiliki jenis teh yang berbeda-beda, setelah
melalui hasil persilangan. Selama ini, dikenal tiga jenis teh hasil olahan,
yakni teh hijau, teh oolong serta teh hitam. Penelitian membuktikan teh
mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan tubuh.
Misalnya karotin, tiamin (vitamin B1), riboflavin
(vitamin B2), nicotinic acid, pantothenic acid, absorbic acid (vitamin C),
vitamin B6, manganese, dan potasium. Itulah mengapa teh sangat berkhasiat.
Teh bisa memperkuat daya tahan tubuh, mencegah
tekanan darah tinggi, mengoptimalkan metabolisme tubuh. Khasiat lainnya yakni
menangkal kolesterol, memperkuat gigi, mengurangi resiko keracunan makanan,
bahkan mencegah kanker.
Kini, produk teh yang tersedia di pasaran pun kian
beragam. Di pasar swalayan hingga tradisional, teh dijual dengan aneka jenis
citra dan rasa. Sebagian di antaranya
memiliki aroma yang khas. Aroma ini diperoleh dari menambahkan perisa
(flavour). Nah, di sinilah titik kritis kehalalan produk teh itu.
Seperti dikutip dari situs halalguide.info,
kekhawatiran terhadap perisa bisa terkait beberapa hal, yaitu pelarut yang
digunakan semisal //etanol// dan gliserol, bahan dasar pembuatannya, serta asal
bahan dasar yang digunakan. Sebelumnya,
bahan etanol tidak boleh lagi digunakan sebagai pelarut akhir komponen-komponen
flavor. Dan sebagai gantinya, dapat menambahkan propilen glikol.
Bahan gliserol pun tidak boleh berasal dari hasil
hidrolisis lemak hewani. Akan tetapi, sekarang telah ada gliserol yang
merupakan hasil sintesis organik dengan menggunakan bahan dasar dari minyak
bumi. Pendek kata, penambahan perisa tidak akan bermasalah aspek kehalalannya
jika bahan yang digunakan adalah campuran dari bahan alami, semisal bunga
melati (perisa nabati).
Lain halnya dengan perisa daging. Sebab pada
prosesnya, diperlukan base yang dibuat dari hasil reaksi asam amino atau
protein hidrolisat, gula dan kadang-kadang lemak atau turunannya. Pada saat
formulasi, untuk flavor daging ayam misalnya, kerap diperlukan lemak ayam,
sehingga harus jelas cara penyembelihan hewannya.
Beberapa bahan perisa juga berasal dari hewan
bertaring. Misalnya, civet (dari kucing civet yang banyak hidup di pegunungan
Himalaya, diambil dari kelenjar susunya pada saat hewan itu masih hidup), musk
oil (dari sejenis musang hidup), dan castoreum (dari hewan berang-berang).
Memang, penggunaan bahan ini sudah jarang ditemukan
dalam formulasi flavor. Akan tetapi dalam beberapa kasus, penggunaan flavor
dari bahan hewani masih ditemukan pada flavor yang menggunakan formula lama.
Penggunaan fusel oil dan turunannya juga harus
dicermati. Fusel oil didapat dari hasil samping industri pembuatan minuman
beralkohol, khususnya distilled beverages, sebagai salah satu fraksi dalam
distilasi hasil fermentasi alkohol.
Karena merupakan hasil samping minuman beralkohol (khamr), bahan
tersebut dianjurkan untuk tidak digunakan oleh umat Islam.
(red : fajar)
Submer : voa-islam
0 komentar:
Posting Komentar