Oleh : Fajar Iswanto
Riba telah kita
ketahui bersama bahayanya. Di antara jual beli terlarang adalah jual beli yang
di dalamnya terdapat unsur riba. Transaksi leasing adalah salah satu di antara
jual beli semacam ini. Tulisan kali adalah lanjutan ulasan sebelumnya mengenai
bentuk jual beli yang terlarang. Semoga Allah beri kemudahan untuk melanjutkan
bahasan ini dalam kesempatan lainnya.
Kedua:
Jual beli yang mengandung riba
Riba seperti telah
kita ketahui bersama berarti tambahan, sebagaimana makna secara bahasa.
Sedangkan secara istilah berarti tambahan pada sesuatu yang khusus.
Barang
Ribawi
Tadi disebutkan
mengenai riba adalah tambahan pada barang yang khusus. Ini menunjukkan bahwa
riba tidaklah berlaku pada setiap tambahan. Dalam jual beli misalnya, kita
menukar satu mobil dengan dua mobil, maka tidak ada masalah karena mobil bukan
barang ribawi. Jika kita menukar kitab dengan dua kitab, juga tidak masalah.
Namun dikatakan riba ketika ada tambahan dan terjadi pada barang yang
diharamkan adanya sesuatu tambahan. Barang semacam ini dikenal dengan barang
atau komoditi ribawi. Ada enam komoditi ribawi yang disebutkan dalam hadits
adalah:
Emas
Perak
Gandum
halus
Gandum
kasar
Kurma
Garam
Dari Abu Sa’id Al
Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika
emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual
dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut
dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa”
(HR. Muslim no. 1584).
Dalam hadits di atas,
kita bisa memahami dua hal:
1. Jika barang
sejenis ditukar, semisal emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka ada
dua syarat yang mesti dipenuhi yaitu: tunai dan semisal dalam takaran atau
timbangan.
2. Jika barang masih
satu ‘illah atau satu kelompok ditukar, maka satu syarat yang harus dipenuhi
yaitu: tunai, walau dalam takaran atau timbangan salah satunya berlebih.
Apakah barang ribawi
hanya terbatas pada enam komoditi di atas? Para ulama mengqiyaskannya dengan
barang lain yang semisal. Namun mereka berselisih mengenai ‘illah atau sebab
mengapa barang tersebut digolongkan sebagai barang ribawi.
Menurut ulama
Hanafiyah dan Hambali, ‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya adalah
barang yang ditimbang, sedangkan empat komoditi lainnya adalah barang yang
ditakar.
Menurut ulama
Malikiyah, ‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar
secara umum atau sebagai barang berharga untuk alat tukar, dan sebab ini hanya
berlaku pada emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lainnya karena
sebagai makanan pokok yang dapat disimpan.
Menurut ulama
Syafi’iyah, ‘illah pada empat komoditi yaitu karena mereka sebagai makanan. Ini
qoul jadid (perkataan terbaru ketika di Mesir) dari Imam Syafi’i. Sedangkan
menurut qoul qodiim (perkataan yang lama ketika di Baghdad) dari Imam Syafi’i,
beliau berpendapat bahwa keempat komoditi tersebut memiliki ‘illah yaitu
sebagai makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Ulama Syafi’iyah lebih
menguatkan qoul jadid dari Imam Syafi’i. Sedangkan untuk emas dan perak karena
keduanya sebagai alat tukar atau sebagai barang berharga untuk alat tukar.
Menurut Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, ‘illah pada empat komoditi adalah sebagai makanan yang
dapat ditakar atau ditimbang. Sedangkan pada emas dan perak adalah sebagai alat
tukar secara mutlak. Sehingga semisal emas dan perak karena memiliki ‘illah
yang sama adalah mata uang logam atau pun kertas.
Pendapat terkuat dalam
masalah ini –sebagaimana faedah dari guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy
Syatsri hafizhohullah- adalah dengan menggabungkan ‘illah yang ada. Kita dapat
menyimpulkan bahwa untuk emas dan perak karena sebagai alat tukar. Oleh karena
itu, mata uang dimisalkan dengan emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi
lain, ‘illahnya karena mereka adalah makanan yang dapat ditakar atau ditimbang.
Oleh karena itu, berlaku riba dalam beras dan daging karena keduanya adalah
makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Sebagai contoh, jika kita menukar
beras jelek dengan beras bagus, maka harus tunai dan salah satu tidak boleh
berlebih dalam hal timbangan.
Macam-macam
Riba
Adapun riba ada tiga
macam:
1.
Riba fadhel, yaitu riba yang terjadi
pada barang yang sejenis karena adanya tambahan.
Contoh:
Menukar emas 24 karat dengan emas 18 karat dengan salah satu dilebihkan dalam
hal timbangan. Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan pecahan seribu rupiah namun
hanya 9 lembar.
2.
Riba nasi-ah, yaitu riba yang terjadi pada barang
yang sejenis atau beda jenis namun masih dalam satu sebab (‘illah) dan terdapat
tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan waktu penyerahan yan
tertunda.
Contoh:
Membeli emas yaitu menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias
dibeli secara kredit atau utang.
3.
Riba qordh, yaitu riba dalam utang piutangan dan disyaratkan
adanya keuntungan atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun
dipersyaratkan dengan pemanfaatan rumah dari orang yang berutang.
Contoh:
Si B meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu disyaratkan
mengembalikan Rp 1,2 juta rupiah, atau disyaratkan selama peminjaman, rumah si
A digunakan oleh si B (pemberi utang). Hal ini
berlaku riba qordh karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik
keuntungan, maka itu adalah riba”.
Jual
Beli yang Mengandung Riba
Setelah kita memahami
hal di atas, selanjutnya kita akan melihat beberapa contoh jual beli yang
mengandung riba yaitu sebagai berikut:
1.
Jual beli ‘inah
Ada beberapa definisi
mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling
masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang
pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan
harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali supaya
mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik
tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang
tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu
secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke
depan”. Sebulan setelah itu, si empunya
tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan
harga 170 juta secara tunai.”
Artinya di sini, si
pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang 170
juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara.
Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang
disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap
piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum jual
beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli
tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak
membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy
Syafi’i
rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad
secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak
memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah
dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di
antara alasannya:
Pertama:
Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan,
sama saja membolehkan kita menukarkan uang 200 juta dengan 170 juta namun yang
salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua:
Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika
kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk
dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan
pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan
menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian
hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9: 242).
2.
Jual beli muzabanah dan muhaqolah
Muzabanah adalah
setiap jual beli pada barang yang tidak diketahui takaran, timbangan atau
jumlahnya ditukar dengan barang lain yang sudah jelas takarannya, timbangan
atau jumlahya. Contohnya adalah menukar kurma yang sudah dikilo dengan kurma
yang masih di pohon. Di sini terdapat riba karena tidak jelasnya takaran kedua
kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang ribawi yang
sejenis harus tunai dan takarannya harus sama.
Dari ‘Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ . وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً ، وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muzabanah. Yang dimaksud
muzabanah adalah seseorang membeli buah ditukar dengan kurma yang sudah dikilo
atau membeli anggur yang masih di pohon ditukar dengan anggur yang sudah dikilo”
(HR. Bukhari no. 2185 dan Muslim no.
1542).
Muhaqolah adalah jual
beli dengan menukar gandum yang ada pada mayang (bulir) dengan gandum yang
bersih hanya dengan mentaksir. Jika hal ini terjadi pada gandum, maka terdapat
riba karena dalam tukar menukar gandum dengan gandum harus diketahui takaran
yang sama.
Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
نَهَى النَّبِىُّ - صلى
الله عليه وسلم - عَنِ
الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muhaqolah dan muzabanah”
(HR. Bukhari no. 2187 dan Muslim no.
1536).
Namun ada bentuk jual
beli yang dibolehkan padahal semisal dengan muzabanah dan muhaqolah yaitu yang
dikenal dengan jual beli ‘aroya. ‘Aroya adalah menukar kurma basah dengan kurma
kering di saat ada hajat (butuh). Ibnu Hajar berkata,
لَا تَجُوزُ الْعَرِيَّة إِلَّا لِحَاجَةِ صَاحِبِ الْحَائِطِ إِلَى الْبَيْعِ أَوْ لِحَاجَةِ الْمُشْتَرِي إِلَى الرُّطَبِ
“Tidak
boleh melakukan transaksi ‘aroya kecuali dalam keadaan hajat yaitu si penjual
sangat butuh untuk menjual atau si pembeli sangat butuh untuk mendapatkan kurma
basah” (Fathul
Bari, 4: 393).
Sebagian ulama
menambahkan bahwa jual beli aroyah dibolehkan jika:
- Bisa ditaksir berapa banyak kurma basah
jika menjadi kering, yang bisa menaksir tentu yang ahli.
- Dilakukan ketika si pembeli sangat ingin
mencicipi kurma basah, namun yang ada padanya hanyalah kurma kering dan tidak
memiliki uang tunai.
- Yang ditukar tidak lebih dari lima wasaq
(1 wasaq = 60 sho’, 1 sho’ = 4 mud, 1 sho’ = 2,176 kg, 1 wasaq = 130.56 kg).
3.
Jual beli daging dengan hewan
Tidak boleh melakukan
jual beli semacam ini. Yang mesti dilakukan, terlebih dahulu hewan tersebut
bersih dari tulang, setelah itu boleh ditukar dengan daging. Jika terjadi
kelebihan takaran atau timbangan, maka terjadilah riba fadhel. Contohnya adalah
jual beli kambing yang masih hidup ditukar dengan daging kambing.
Dari Sa’id bin Al
Musayyib, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ اللَّحْمِ بِالْحَيَوَانِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari jual beli daging dan hewan” (HR. Malik dalam muwatho’nya 2: 655,
Al Baihaqi 5: 296, Hakim dalam mustadroknya 5: 357. Al Baghowi mengatakan bahwa
hadits Ibnul Musayyib meskipun mursal, namun dikuatkan dengan amalan sahabat.
Imam Syafi’i sendiri menganggap hasan hadits mursal dari Sa’id bin Al Musayyib.
Lihat Syarh As Sunnah 8: 77).
4.
Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)
Jual beli secara
kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu
diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit
harus melihat beberapa kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.
Kriteria pertama,
barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan
kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi
secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika
mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan
pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di
muka dan sisanya dibayarkan di belakang.
Kriteria kedua,
barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik
pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si
pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang
tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada
bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan
lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh
melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga.
Namun
sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat:
(1) harganya jelas
di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak
ketiga.
(2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari
islamweb.net)
Jika salah satu dari
dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran.
Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara
sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa
yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia
selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala
sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami
dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan.
Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar
memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum
kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Atau bisa jadi
terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada
pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’
(bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang
piutang.
5.
Jual beli utang dengan utang
Bentuknya adalah
seseorang membeli sesuatu pada yang lain dengan tempo, namun barang tersebut
belum diserahkan. Ketika jatuh tempo, barang yang dipesan pun belum jadi.
Ketika itu si pembeli berkata, “Jualkan barang tersebut padaku hingga waktu
tertentu dan aku akan memberikan tambahan”. Jual beli pun terjadi, namun belum
ada taqobudh (serah terima barang). Bentuk jual beli adalah menjual sesuatu
yang belum ada dengan sesuatu yang belum ada. Dan di sana ada riba karena
adanya tambahan.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli utang dengan utang”
(HR. Ad Daruquthni 3: 71, 72. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if sebagaimana dalam Dho’iful Jaami’
6061). Namun makna hadits ini benar dan disepakati oleh para ulama, yaitu
terlarang jual beli utang dengan utang.
Karena sebab inilah
dalam jual beli salam (uang dahulu, barang belakangan), berlaku aturan uang
secara utuh diserahkan di muka, tidak boleh ada yang tertunda.
Demikian ulasan
mengenai jual beli yang mengandung riba. Masih ada beberapa bentuk jual beli
yang terlarang yang moga bisa dilanjutkan dalam kesempatan yang lain dengan
izin Allah. (Sumber: www.rumaysho.com)
0 komentar:
Posting Komentar